Sabtu, 26 Februari 2011

Tokoh-tokoh Hermeneutik

Oleh Miftahuddin
Pada bagian ini mengungkapkan dan memberikan gambaran atau penjelasan-penjelasan awal tentang filsafat itu sendiri sebelum membahas lebih lanjut mengenai Hermeneutik.
Filsafat dibagi menjadi dua pokok bahasan, spekulasi yaitu yang berhubungan dengan rasa heran dan ingin tahu, atau secara filosofis disebut menentukan “subyek” atau gagasan dan merenungkannya secara mendasar. Kegiatan spekulasi ini melibatkan proses kebebasan berpikir. Perbedaan antara berpikir secara sehari-hari dengan berpikir secara filosofis adalah pada aspek kesungguhan dan sistematisnya.
Sedangkan pokok yang lain yaitu analisis, yaitu dengan mengajukan pertanyaan, menjawab, berkeyakinan ataupun berteori, untuk kemudian menyelidiki semuanya itu dan menguraikannya ke dalam bagian-bagian dengan menggunakan data-data fisik yang dapat membantu, dengan mempergunakan bentuk penalaran logika.
Filsafat menyelediki realitas dalam pengertian sepenuhnya. Apapun yang dianggap “ada” merupakan domain atau ruang lingkup filsafat, karenanya ia tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Metode bagaikan logika, ia merupakan dasar penalaran manusia. Namun metode dan logika tidak dapat menentukan seseorang dapat disebut jenius atau tidak. Dalam rangkaian sejarah banyak ahli-ahli filsuf yang mencoba menyusun sebuah metode filsafat yang diakui secara universal maupun dalam rangka mempertahankan kelayakan filsafat sebagai suatu disiplin ilmu.

Beberapa metode yang berkembang sepanjang sejarah filsafat antara lain adalah:

Metode Dialog Platonik yang dikembangkan oleh Plato (427 – 347 SM), metode ini membahas filsafat dengan metode dialektik atau secara berdialog.
Metode Silogisme yang dikembangkan oleh Aristoteles (384 – 322 SM). Metode ini menggabungkan unsur pembenaran dan penyangkalan dalam penerapan metodenya. Dengan metodenya ini ia disebut Bapak Logika.
Francis Bacon, seorang filsuf Inggris mencoba menggugurkan metode silogisme Aristoteles, dalam buku Novum Organon (Organon Baru) sebagai kritik buku Aristoteles (Organon). Francis beranggapan logika Aristoteles kekurangan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang berguna untuk menetapkan hukum penalaran secara ilmiah. Kelemahan metode silogisme Aristoteles hanya berlaku untuk penyimpulan deduksi dan tidak untuk induksi, metode ini hanya dapat menerapkan hukum-hukum yang bersifat universal pada semua hal yang khusus, tetapi tidak bisa sebaliknya.
Metode Thomistik yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Dalam metode Thomistik, ia secara rinci mengetengahkan persoalan yang harus dijawab dalam bentuk pertanyaan yang kemudian membawa kepada pengajuan-pengajuan keberatan yang diarahkan untuk menopang jawaban-jawaban. Inti dari metode ini adalah berusaha menghapus semua keraguan dan pertentangan paham sehingga tidak lagi muncul pertanyaan-pertanyaan lanjut. Kelemahan metode ini adalah, mungkinkah benar-benar ada sebuah garis akhir dari sebuah pertanyaan.
Metode Ragu-Ragu atau metode Cartesian yang dikembangkan oleh Rene Descrates (1596 – 1650), seorang ahli matematika Perancis. Dalam metodenya ini sebuah “pemahaman” diuji hingga mencapai terbebas dari keragu-raguan, inilah yang dianggap menjadi prinsip-prinsip untuk menilai validasi sebuah kebenaran. Bukunya Principles of Philosophy (Prinsip-prinsip Filsafat) menjadikan Descrates ”Bapak Filsafat Modern”
Meski memiliki kelemahan yang bersifat historis namun metode Descrates banyak mempengaruhi metode filsafat yang berkembang kemudian. Pengaruhnya bisa dirasakan antara lain pada Empirisme. 
Metode Empirisme adalah salah satu metode yang tidak mau menerima kebenaran jika tidak berdasarkan pengalaman dan dibuktikan secara panca indera.
Metode Analitik mencoba menganalisis terminologi lingguistik dan dengan cermat menyusun tabel-tabel nilai linguistik dengan maksud menentukan nilai kebenaran sebuah kalimat. Kelemahan metode ini adalah pemikir dibatasi oleh aturan-aturan ketat tentang makna atau arti dari sebuah kata atau pernyataan, sehingga tidak bebas menemukan arti baru atau melakukan sebuah interpretasi.
Metode Refleksi, metode ini sangat klasikal yaitu dengan memandang kehidupan dan dunia serta berinteraksi dengan kedua hal tersebut, terutama menggunakan kesadaran. 
Metode Fenomenologis yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1895 – 1939). Metode ini dianggap dapat mengena untuk menegaskan validitas filsafat dalam pengalaman manusia sehari-hari. Metode ini menjadi ujung tombak munculnya aliran eksistensialisme.
Sampai saat ini setiap filsuf masih mencoba mencari metode yang paling ideal yaitu metode yang dapat menampilkan bentuk struktur yang fleksibel dan memungkinkan perkembangan lebih lanjut. Metode tersebut juga harus konkret dan tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang bersifat abstrak serta harus bersifat obyektif.

Apa itu Hermeneutik ?

Secara etimologis Hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, oleh karena itu kata benda dari hermenia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini berhubungan dengan tokoh mitologis Hermes, utusan dewa Jupiter yang menyampaikan pesan kepada manusia. Hermes menjadi simbol seorang duta yang diberi misi tertentu.
Dalam perkembangannya Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Dalam pandangan klasik, Hermeneutik mengingatkan pada yang ditulis Aristoteles dalan Peri Hermeneias atau De Interpretatione bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.
Hemeneutik berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, kita berbicara dab menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan menginterpretasi dengan bahasa.
H.G. Gadamer merupakan salah satu pembicara filosofis yang mengangkat nuansa-nuansa bahasa ini, ia menyatakan bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara kita di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Ide yang disampaikan Gadamer bahwa kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan.
Wilhelm Ditlhey menyatakan bahwa kata-kata atau pun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud. Hal ini sependapat dengan apa yang disampaikan Gamamer.
Bahasa menjelmakan kebudayaan manusia, ia adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya tanpa kecuali sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan pemahaman.
Disiplin ilmu yang pertama banyak menggunakan hermeneutik adalah penafsiran kitab suci. Ilmu lainnya adalah hukum. Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Hukum selalu memiliki dua sisi, tersirat (semangat hukum) dan tersurat (bunyi hukum).
Dalam Filsafat, yang jelas-jelas berhungan dengan interpretasi, hermeneutik tidak bisa ditekankan secara berlebihan. Interpretasi dalam filsafat tidak memiliki aturan baku, perkembangan jaman, waktu dan budaya akan mempengaruhi interpretasi terhadap suatu konsep filsafat.
Dalam hermeneutik, seluruh obyek pada dasarnya dinilai netral, subyeklah yang kemudian memberi arti atau makna pada obyek. Husserl menyatakan bahwa obyek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya obyek itu netral. Disinilah letak keunggulan hermeneutik.
Interpretasi mencakup pemahaman, untuk membuat suatu interpretasi harus terlebih dahulu mengerti atau memahami. Bila seseorang mengerti, maka sebenarnya ia telah melakukan interpretasi dan juga sebaliknya. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik.
Emilio betti menyatakan bahwa interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti. Ia memandang interpretasi sebagai sarana untuk mengerti. Hukum Betti tentang interpretasi yang terkenal adalah sensus non est inferendus sed efferendus ( makna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan). Hukum ini bersifat instruktif.
Buku lain yang membahas hermeneutik adalah Sein und Zeit karya Martin Heidegger. Ia membahas Dasein (istilah untuk menyebut manusia autentik) dalam kerangka waktu lampau (sebagai befindlichkeit), masa sekarang (sebagai Rede) dan masa akan datang (sebagai Verstehen).
Dalam hermeneutik, setiap obyek tampil dalam konteks ruang dan waktu yang sama karena pada kenyataannya tidak ada obyek yang terisolir, setiap obyek berada dalam ruang. Selalu ada kerangka referensi, dimensi, sesuatu batas baik nyata atau semu yang memberi ciri khusus pada obyek.
Hermeneutik adalah proses menelaah isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah teks sampai pada maknanya yang terdalam dan laten ( Richard E. Palmer, 1969:43)
Filsafat adalah sebuah Hermenutik yang membaca makna yang tersembunyi di dalam sebuah teks yang mengandung arti yang kelihatannya sudah jelas (Ricoeur, 1974: 22)

F.D.E. Schleiermacher (1768 – 1834)

Schleiermacher membedakan hermeneutik dalam pengertian ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik yang didefinisikan sebagai studi tentang memahami. Ia menulis:

Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara merupakan sisi luar dari berpikir, hermeneutik adalah bagian dari seni berpikir itu dan oelh karenanya bersifat filosofis (Schleiermacher, 1917:97)
Menurut Schleiermacher berbicara itu berkembang seiring dengan buah pikiran. Menurutnya ada jurang pemisah antara berbicara atau berpikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling bertautan satu sama lain yaitu apa yang dikatakan konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicaranya.
Schleiermacher dalam uraiannya banyak dipengaruhi oleh Freidrich Ast dan Freidrich August Wolf. 

Menurut Ast tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta siatinya menurut jamannya. Ia membagi tugas itu dalam tiga bagian, sejarah, tata bahasa dan aspek kerohaniannya (geistige). Korespondensi ketiga bagian tersebut merupakan tiga taraf penjelasan yaitu:
• Hermeneutik atas huruf (Hermeneutik des Buchstabens) atau bahan baku teks
• Hermeneutik atas makna (hermeneutik des Sinnes) atau bentuk teks
• Hermeneutik atas aspek kejiwaan (Hermeneutik des Geistes) atau jiwa teks
F.A. Wolf mendefiniskan hermeneutik sebagai seni menemukan makna sebuah teks. Menurutnya ada tiga jenis hermeneutik atau interpetrasi yaitu Interpretasi gramatikal, Interpretasi historis, dan Interpretasi Retorik
Perbedaan antara Ast dan Wolf adalah, Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik dan kritik sebagai studi persiapan filologi sementara Ast menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya lampiran (appendiks) bagi filologi.
Menurut Shleiermacher sendiri ada dua tugas hermeneutik yang identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis.

Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui sesorang sangat menentukan keberhasilan sebuah interpretasi. Karena dua hal tersebut sangat sulit mengingat, Schleiermacher mempunyai sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi yaitu rekonstruksi hitoris, obyektif dan subyektif terhadap sebuah pernyataan.
Schleiermacher menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks ‘sebaik atau lebih baik dari pengarangnya sendiri’ dan ‘memahami pengarang teks lebih baik dan memahami diri sendiri’. Oleh karena itu diperlukan suatu pandangan yang menyeluruh sebelum melakukan interpretasi. Pandangan awal tersebut tidak hanya tentang obyek atau peristiwa saja tetapi juga tentang bahasa dan masarakatnya juga.
Interpretasi dimulai dengan suatu teori tentatif atau konsep awal, lalu diteruskan dengan pengandaian atau hipotesis. Menurut Schleiermacher, pemahaman kita peroleh setelah melihat bagaimana semua bagian itu berhubungan satu sama lain. Rekonstruksi menyeluruh koherensi suatu teks tidak akan pernah lengkap jika detail-detailnya tidak diperhatikan.
Ada beberapa taraf memahami, taraf pertama ialah interpretasi dan pemahaman mekanis, taraf kedua ialah taraf ilmiah, taraf ketiga ialah taraf seni.

Wilhelm Dilthey (1833 – 1911)

Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset historisnya dalam bidang hermeneutik. Ia berambisi menyusun dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang memandang dunia sebagai wajah interior dan eksterior. 
Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan kehidupan intelektualnya, tertauam pada kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato.
Dithey seakan-akan ‘mematri’ sejarah dan filsafat menjadi satu maksud untuk mengembangkan suatu pandangan filosofis yang komprehensif dan tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak ‘diredupkan’ oleh prasangka. (Dilthey, 1962: Pattern and meaning in history)

Ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epitemologis baru bagi pertimbangan sejarah, gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, interior (wajah dalam) dan eksterior (wajah luar). Mirip dengan dualisme Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu spiritualisme sebagai bagian interior dan realisme sebagai bagian eksterior.
Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai sama, bahkan dapat dikatakan dalam keadaan saling tergantung.
Kesulitan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah sejajar dengan penelitian ilmiah.

Pada mulanya Dilthey mengingikan kritik historis terhadap akal menjadi kritik atas akal historis yang dapat diumpamakan dengan ‘kritik terhadap akal murni’ dari Immanuel Kant. ‘Kritik’ Dilthey adalah suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan untuk menemukan makna sejarah sebagai cara memahami dengan lebih mendalama daripada sekedar penelitian historis. 
Melalui introspeksi yang dikombinasikan dengan interpretasi terhadap ekspresi, seorang dapat menemukan pola berantai (sequence-patterns) atau Zusaminenhang (bergantung bersama).
Filsafat sejarah menurut Dilthey adalah ‘kritik atas akal historis’, suatu filsafat tentang mengerti, cara meliha atau menemukan rangkaian pemikiran yang berlangsung dalam sejarah. Ia mencoba melihat pola-pola yang ada dalam sejarah, mencoba memahami dan mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya.

Dilthey ingin membangun sebauh sistem dengan sasaran memahami individu yang menyejarah. Sistem kemasyarakatan sifatnya eksternal karena ditentukan oleh ruang dan waktu. Sistem individual pada dasarnya merupakan produk sistem yang telah diresapi oleh manusia. Hanya pengetahuan tentang sistem eksternal saha yang akan mampu meraih interpretasi historis objektif tentang situasi historis setiap individu (Kremer-Marietti, 1971:76-77)
Pemahaman atas sistem yang dihasilkan oleh individu adalah mutlak bagi sasaran tersebut sebab individu tak lai adalah produk dari sistem sosial atau eksternal. oleh karena itu, ia menilai bahwa sistem eksternal adalah basis pemahaman historis.
Seorang interpreter tidak dapat mengesampingkan begitu saja psikologi tingkah laku, sementara ia menaruh perhatian pada pola-pola tingkah laku.
Lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seseorang harus dilihat secara seksama dengan maksud memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi, kemudian mengadakan interpretasi. Psikologi dimaksudkan unutk memberikan orientasi awal atau semacam pembiasaan dalam memahapi penyelidikan terhadap manusia.

Dilthey membedakan tajam antara Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan tentang alam) dengan Geisteswissenschaften (ilmu pengetahuan tentang kehidupan batin manusia. Perbedaan ini dianggap penting karena keduanya menggunakan metode yang berbeda. Menurutnya, saat kita mencoba menjelaskan tentang alam, saat itu pula kita memahami kehidupan batin (psychic life). Dilthey juga membuat perbedaan penting antara dua arti kata yang sama-sama diterjemakan sebagai ‘pengalaman’; Erfahrung - term yang umum dan Erlebnis – term khusus yang mengkonotasikan pengalaman yang hidup (lived experience).
Dilthey menganjurkan kita menggunakan hermeneutik karena ini adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Ia menaruh perhatian pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah (Kremer-Marietti, 1971: 130).
Menurut Dilthey, hermenuetik sendiri pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah ‘berhenti pada satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.

Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:
• Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
• Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara lagsung berhubungan dengan peristiwa sejarah.
• Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.
Hidup dan kehidupan adalah sebuah proses yang sedang berlangsung, suatu entitas yang secara kodrat mengalir (Bergson). Sejarah tidak dapat dipahami kecuali melalui teori-teori dan sebaliknya teori juga tidak dapat dipahami kecuali melalui sejarah.
Menurut Dilthey, perbedaan menerangkan dan memahami adalah, menerangkan berarti membuat proses intelektual murni sedangkan memahami berarti menggabungkan semua daya pikiran kita dalam pengertian. Dalam memahami kita mengikuti proses mulai dari sistem keseluruhan yang kita terima dalam pengalamana hidup sehingga kita dapat mengerti, sampai ke pemahaman tentang diri sendiri. Proses pemahaman teridir dari dua bagian; pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya dan kedua, rekosntruksi berbagai peristiwa. (epitomae)
Tentang sistem penyebaban, Dilthey membagi menjadi dua jenis Kausalzusammenhang ( nexus sebab dan akibat yang bersifat mekanis) dan Wirkungszusanmmenhang (sistem dinamis).

Hans-Georg Gadamer

Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg tahun 1900. ia belajar filsafat di universitas di kotanya a.l pada Nikolai Hartman, Martin Heidegger dan Rudolf Bultmann (teolog protestan). Karier filsafat Gadamer mencapai puncak pada 1960, saat ia menjelang pensiun, melalui bukunya ‘Kebenaran dan Metode’ (Wahrheit und Methode) – sebuah dukungan berarti bagi karya Heidegger ‘Sein und Zeit’ (Being and Time).
Memahami karya-karya Gadamer bukanlah hal yang mudah, sumber kompleksitas ini antara lain karena, pertama, filsafat hermeneutik Gadamer menurut faktanya juga didasarkan pada pemikiran hermeneutik. Argumennya sangat mengandalkan analisis kritisnya tetnang bahasa, kesadaran historis serta pengalaman estetika. Dalam Philosophische Lehrjahre analisis Gadamer tentang kebenaran menunjukkan adanya perpaduan cakrawala gagasan antara Kant, Dilthey, Aquinas dan dirinya. Kedua, dalam Truth and Method menampilkan kesatuan gagasan tanpa garis batas dan ketertutupan tanpa penjabaran.

Gadamer dalam bukunya ‘Kebenaran dan Metode’ lebih menekankan pada pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Ia ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika. Dalam buku ini, ia mengungkapkan konsep yang menarik tentang ‘permainan’. Subjek permainan yang sebenarnya bukanlah para pemainnya, namun permainan itu sendiri (Gadamer, 1986:92).
Gadamer menolak konsep hermeneutik sebagai metode karena ia beranggapan bahwa metode tidak dapat menjamin kebenaran. Menurut Gadamer, logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana untuk mencapai kebenaran filosofis.
Gadamer juga menaruh perhatian pada bidang seni dengan alasan dalam seni kita mengalami suatu kebenaran, namun bukan kebenaran yang melalui penalaran melainkan kebenaran yang menurut faktanya ‘menentang semua jenis penalaran’. Gadamer mengutip pendapat Kant bahwa ‘seni murni adalah seni para genius’ dan kebenarannya tidak dapat dicapai dengan metode ilmiah.

Gadamer membahas empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik, yaitu:
Bildung (kultur/kebudayaan, formatio-Latin) – konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung, pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal dll, yang semuanya kita mengerti sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Sebuah kumpulan kenangan, pembentukan jalan pikiran;
Sensus Communis – pertimbangan praktis yang baik (le bon sens-Perancis), ini diperlukan dengan maksud untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia;
Pertimbangan – sifatnya universal, namun bukan berarti berlaku umum, yaitu kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip, dan hukum-hukum yang dapat diolah manusia;
Taste atau selera – sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannya tidak memakau pengetahuan akali. Fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau perbedaan, tetapi kemampuan ini tidak dapat didemonstrasikan.

Gadamer berpendapat bahwa hermenutik adalah seni bukan proses mekanis. Pemahaman dan hermenutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Ia mengatakan bahwa interpretasi adalah penciptaan kembali. Penafsir selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang atau kontemporer.
Refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang pengalamannya tidak selalu dapat digolong-golongkan maupun dipelajari secara artifisial. Dalam bukunya Philosophical Apprenticeships, Gadamer menyatakan:
Dalam refleksi hemeneutik tetang syarat-syarat pemahaman, nyatalah bahwa kemungkinan-kemungkinan menyatakan diri dalam kesadaran yang merumusjan pemahaman sebuah bahasa tidak dimulai dari nol atau berakhir dalam ketidaktentuan. Model filsafat praktis ini harus mampu berfungsi sebagai theoria yang legitimasi-ontologisnya hanya dapat ditemukan di dalam suatu Intellectus Infinitus (pemikiran yang luas) yang tidak dikenal dalam pengalaman eksistensial karena tidak didukung oleh wahyu (Gadamer, 1985:183).

Gadamer juga beranggapan bahwa filsafat hermeneutik memahami dirinya sendiri bukan sebagai posisi mutlak sebuah pengalaman, melainkan sebagai jalan pengalaman itu sendiri. Dan ini menegaskan bahwa tidak ada prinsip yang lebih tinggi daripada mengusahakan diri tetap terbuka untuk berbicara dengan orang lain (Gadamer, 1985:189)
Terjemahan bagaikan interpretasi dan penerjemahnya akan menggunakan bahasa untuk menentukan bahasa. Secara paradoksial, Gadamer menegaskan bahwa suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampu menghilang dibalik bahasa yang digunakan.
Pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan saat ini, meski pemahaman tersebut berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Memahami selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karena itu interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.

Gadamer menambahkan istilah subtilitas applicandi (penerapan) dalam hermenutik selain subtilitas intelligendi (pemahaman) dan subtilitas explicandi (interpretasi). 
Untuk memahami sebuah teks, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi agar kita terbuka terhadap apa yang dikatakan sebuah teks. Sebaliknya kita mengantisipasi dan menginterpretasikan menurut apa yang kita miliki (vorhabe), apa yang kita lihat (vorsicht), serta apa yang kita proleh kemudian (vorgriff).
Persyaratan hermeneutik sehingga membuat pemahaman itu menjadi suatu ‘hubungan historis dan efektif’ adalah antisipasi terhadap makna yang akan datang (fore-meanings) dan pemahaman yang akan datang (fore-understanding).

Jurgen Habermas

Selain tekun dalam filsafat, Habermas yang lahir di Gummersbach 1929, juga menekuni bidang politik dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang ‘persenjataan kembali’ (reamament) di Jerman.
Meski gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik namun gagasan-gagasannya banyak mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan dalam tulisannya ‘Knowledge and Human Interest’.

Menurut Habermas, penjelasan ‘menuntut penerapan proporsi-proporsi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis’ (Habermas, 1972:144). Sedangkan pemahaman adalah ‘suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu’.
Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan yang dikemukakan oleh C.S. Peirce yaitu deduksi, induksi dan abduksi (proses pembentukan hipotesis yang bersifat eksplanatoris).
Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat lebih, yang tidaka dapat dijangkau interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’. ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan diluar pikiran kita. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi subjektifnya. 

Pemahaman hermenutik lebih diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang ‘pemahaman monologis tentang makna’, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti misalnya bahasa simbol.
Pemahaman herneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan yaitu lingusitik, tindakan dan pengalaman.
Dalam hermeneutik, penafsir mengalami dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objektif. Dilema ini merupakan pertanyaan ‘eksklusif linguistik atau analisis empiris’.
Menurut Habermas, objektivasi pemahaman hanya mungkin bila interpreter menjadi partner dalam dialog komunikatif. Ini berarti interpreter harus mengadakan interaksi, sebagaimana terjadi dialog atau dialektika antara yang umum dan yang individual. Bahasa dan pengalaman, dalam logika Habermas, harus masuk ke dalam dialektik dengan tindakan.

Dalam buku ‘The Theory of Communicative Action’ Habermas membagi tindakan menjadi empat jenis:
Tindakan teleologis – aktor mempertahankan tujuan khusus dan unutk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan sesuai, yaitu keputusan.
Tindakan normatif – yang terutama tidak diarahkan pada tingkah laku aktor soliter, tetapi pada anggota-anggota kelompok sosial. Konsep pokoknya adalah pemenuhan terhadap norma.
Tindakan dramaturgik – konsep pokoknya adalah penampilan diri di hadapan umum atau masyarakat.
Tindakan komunikatif – yang menunjukan kepada interaksi, dimana konsep pokoknya adalah interpretasi.
Minat diterjemahkan oleh Habermas sebagai orientasi dasar yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia yaitu ‘kerja’ atau karya dan ‘interaksi’. Alasan Habermas memasukan minat dalam hermeneutik adalah karena menurutnya pengetahuan dan minat pada dasarnya satu. Ia menyebut pengetahuan tentang manusia dengan istilah ersatz. 
Berdasarkan perbandingan dan kritiknya terhadap Karl Marx dan Dilthey, Habermas mengatakan bahwa ‘membuka rahasia interpretasi terhadap diri sendiri adalah tugas hermeneutik’. 

Habermas lebih lanjut mengatakan bahwa minat mendahului refleksi diri sesaat sesudah minat menyadari dirinya sendiri dalam daya atau kekuatan emansipasinya.
Habermas mencemooh model hermeneutik dari ilmu-ilmu kemanusian karena dianggapnya tidak dapat bekerja untuk interpretasi psikoanalitik. Hermeneutik memperoleh fungsinya dalam proses genesus kesadaran diri.
Habermas sebenarnya ingin berada di antara dua kutub metodologis yaitu di antara hermeneutik yang subjektif dan hukum-hukum sains yang objektif, untuk selanjutnya ia ingin menggabungkan kedua hal tersebut dan menerapkannya pada sains.

Paul Ricoeur 

Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik.
Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi terhadap interpretasi, seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur, 1974:12)
Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian pula jika simbol-simbol mulai dilibatkan. Setiap interpreatsi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung.

Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983:192)
Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah ‘perjuangan melawan distansi kultural’, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.
Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit, Riceour kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’. Teks sebagai penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral dapat dipersempit.
Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar.
Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur, 1985:43).

Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan bahas itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.
Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan penjelasan hermeneutik memberi kita kesan subyektif, di sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang menimbulkan problem. Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam, yaitu untuk memahami sebauh percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis.
Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang ‘berpikir dari’ simbol-simbol. Langkah pertama adalah langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara menjadi’ hanya bisa terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau Erkenntnistheorie. 
Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur, tema pertama adalah tidak ada titik nol saat kritik tuntas dapat mulai dilakukan. Tema kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga adalah jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara mutlak membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar