Sabtu, 26 Februari 2011

LIBERALISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


Oleh Miftahuddin*
 
 
Fenomena merebaknya pemikiran sekularis, pluralis dan liberalis (sipilis) di sejumlah lembaga pendidikan agama Islam bukanlah hal baru. Sejak awal berdirinya, berbagai aliran pemikiran dan paham ideologi tumbuh subur di dalamnya. Bahkan pemikiran ini telah mengilhami berbagai perbuatan nyleneh; mulai dari kasus penyebutan asma Allah dengan, “Allahirrajîm (Allah terkutuk) dan setan dengan, “syaithân subhânnahu wa ta‘âla (setan mahasuci dan mahatinggi)”; kasus penginjakan lafal Allah, kasus penghinaan terhadap Islam, Al-Quran dan Rasulullah saw.; kasus tuntutan penglepasan kewajiban berjilbab;  kasus aborsi, kasus perbuatan mesum dan zina sampai kasus pemakaian obat-obatan terlarang.

Tak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal, pemikiran sipilis pun telah merasuk ke pondok pesantren. KH Khalil Ridwan pernah menyampaikan peringatannya yang dimuat di “surat pembaca” Harian Republika (27/3/2006) terkait dengan adanya  upaya infiltrasi paham sekularisme-liberalisme ke pondok-pondok pesantren yang dilakukan oleh lembaga pengasong ide liberal: International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Lembaga ini didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Fakta lain, pada 18-28 September 2002, Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga Amerika, telah mengundang 13 pesantren ‘pilihan’ di Indonesia (dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) untuk berkunjung ke AS. Agenda ini terkait dengan kampanye liberalisasi pemikiran Islam ke pondok pesantren. 


Konspirasi Barat di Balik Agenda Liberalisasi Pendidikan Islam

Berawal dari pidato Nurcholish Madjid (3/1/1970) di Jakarta dengan judul, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” liberalisasi terhadap ajaran-ajaran dan pandangan Islam dianggap penting. Pidoto ini telah menjadi momentum penting bagi Gerakan Pembaruan (baca: liberalisasi) Islam di Indonesia.  Gerakan ini bukan sekadar pemuasan hasrat intelektual belaka, tetapi merupakan gerakan sistemik konspiratif. Arahnya jelas, yakni menyebarkan ide liberalisme Barat ke Dunia Islam. Hal ini sinergis dengan pernyataan Bush seperti yang dimuat Kompas (6/11/2004), “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.”

Pasca runtuhnya Uni Soviet, Barat telah menjadikan Islam sebagai ancaman utama bagi keberlangsungan ideologi kapitalis-liberal. Hal ini dapat disimpulkan dari ungkapan Willi Claes, mantan Sekjen NATO, “Muslim fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan Komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini…Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.”

Berbagai kasus pemikiran dan perilaku nyleneh yang terjadi ternyata tidak terlepas dari upaya westernisasi (pem-Barat-an) negeri-negeri Islam yang dipromotori oleh Amerika, Inggris dan sekutunya. Melalui badan dunia PBB dan yayasan-yayasan internasional, Barat beserta para kapitalis melancarkan serangannya dengan menyusun program dan strategi liberalisasi pendidikan ke negara target maupun langsung ke lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam. Konspirasi liberalisasi pendidikan ini merupakan kelanjutan dari upaya Barat menghapuskan peradaban Islam dan mencegah tegaknya kembali syariah dan Khilafah. Selanjutnya Barat berharap akan tetap mampu menancapkan hegemoninya di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam. 


Modus Intervensi Barat dalam Liberalisasi Pendidikan Islam

Dalam upaya liberalisasi pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren di Indonesia, dengan gencar Barat melancarkan modus berikut: 

Pertama: intervensi kurikulum pendidikan Islam dan pondok pesantren. Kurikulum sebagai panduan untuk membentuk produk pemikiran dan perilaku pelajar/mahasiswa menjadi salah satu sasaran intervensi. Kurikulum bidang akidah, konsep wahyu maupun syariah Islam menjadi obyek liberalisasi yang tersistemkan.

Liberalisasi akidah Islam diarahkan pada penghancuran akidah Islam dan penancapan paham pluralisme agama yang memandang semua agama adalah benar. Liberalisasi konsep wahyu ditujukan untuk menggugat otentisitas (keaslian) al-Quran Mushaf Utsmani dan as-Sunnah. Adapun liberalisasi syariah Islam diarahkan pada penghancuran hukum-hukum Islam dan penghapusan keyakinan umat terhadap syariah Islam sebagai problem solving bagi permasalahan kehidupan manusia. Contoh kasus: “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” adalah mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, di sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam di Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

Empat buku referensinya sangat kental dengan ide-ide orientalis. Salah satunya adalah buku ‘Rethingking Islam’ karya Mohammed Arkoun. Dalam buku ini, Arkoun mengajak umat Islam untuk memikirkan kembali dan membongkar hal-hal yang sudah pasti dalam Islam. Ia pun menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya. Terdapat juga mata kuliah “Hermeneutika dan Semiotika” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Quran dan as-Sunnah. Implikasinya, mahasiswa dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran al-Quran dan as-Sunnah, termasuk meragukan kebenaran tafsir para mufassirin terdahulu karena kebenaran dinilai relatif, sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat.

Dalam upaya intervensi kurikulum ini, The Asia Foundation (TAF) tercatat sebagai pengucur dana untuk reformasi kurikulum pendidikan kewarga-negaraan di empat universitas Islam yang membawahi 625 institusi dan kurang lebih 215.000 pelajar. Sejak tahun 2000, TAF bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia mengubah kurikulum untuk memperkuat reformasi demokrasi dan liberalisasi. Di samping intervensi kurikulum pendidikan Islam di Indonesia, Barat pun berupaya mengintervensi kurikulum pondok-pondok pesantren dengan kucuran dana 157 juta dolar AS lewat Departemen Agama RI. Menyikapi hal itu, KH Kholil Ridwan dari Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) menyerukan kepada para kiai pesantren agar menolak pemberian dana Amerika sebesar Rp 50 juta lewat Departemen Agama kalau disuruh mengubah kurikulum pesantren model mereka.

Kedua: bantuan pendidikan dan beasiswa kepada lembaga pendidikan Islam dan pelajar/mahasiswa di Indonesia.  The Asia Foundation telah mendanai lebih dari 1000 pesantren untuk berpartisipasi dalam mempromosikan nilai-nilai pluralisme, toleransi dan masyarakat sipil dalam komunitas sekolah Islam di seluruh Indonesia. Tahun 2004, TAF memberikan pelatihan kepada lebih dari 564 dosen yang mengajarkan pelatihan tentang pendidikan kewarganegaraan yang kental dengan ide liberalis-sekular untuk lebih dari 87.000 pelajar. Fakta lain, AS dan Australia juga membantu USD 250 juta dengan dalih mengembangkan pendidikan Indonesia. Padahal, menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi ‘madrasah-madrasah’ yang menghasilkan para ’teroris’ dan ulama yang membenci Barat. Di samping bantuan pendidikan, pemberian beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke negeri Barat sudah menjadi modus operandi lama. 

Sejarah awal terjadi pada tahun 1950-an, saat sejumlah mahasiswa Indonesia belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS) yang didirikan oleh orientalis Cantwell W. Smith. Di antara mahasiswa itu adalah Harun Nasution, Rasyidi dan Mukti Ali. Pasca pulang dari belajar Islam gaya orientalis, Harun Nasution menjadi penggerak proses liberalisasi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sosok ini juga menjadi tokoh kunci terjadinya liberalisasi di seluruh Indonesia. Bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang banyak berisi liberalisme pemikiran Islam menjadi buku rujukan wajib seluruh IAIN di Indonesia. Adapun Mukti Ali menggawangi Departemen Agama; ia banyak berperan menciptakan iklim kondusif secara kebijakan untuk percepatan liberalisasi Islam. Kerjasama beasiswa ini dilakukan dengan Australia, Jerman, Belanda dan AS. Sosok kontroversial Nurcholish Madjid juga hasil dari cuci otak di Chichago University. Modus beasiswa ini bagaikan mafia agen liberalisasi. Apabila dalam liberalisasi ekonomi ada “Mafia Berkeley”, dalam liberalisasi pemikiran Islam kita kenal “Mafia McGill” dan “Mafia Chichago”.

Ketiga: pembentukan jaringan intelektual Muslim yang menyuarakan liberalisasi pemikiran Islam. Jaringan intelektual ini diwakili oleh Jaringan Liberal yang berlabelkan Islam, bekerjasama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri.  Jaringan ini gencar menyuarakan kampanye dan pengopinian reorientasi pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang pluralis melalui berbagai media propaganda. Khamami Zada di Jurnal Tashwirul Afkar edisi II/2001 menuliskan:

Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi.  Konsep iman, kafir, muslim-non-muslim dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan.

Target Akhir : Liberalisasi Pemikiran Islam dan Muslim Moderat

Target akhir dari upaya liberalisasi pendidikan Islam dan pondok pesantren di Indonesia adalah liberalisasi pemikiran Islam dan menciptakan Muslim moderat yang pro Barat. Dari merekalah selanjutnya agenda liberalisasi pemikiran Islam akan disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Sasaran pembentukan Muslim moderat diprioritaskan dari kalangan intelektual Muslim dan ulama. Alasannya, karena intelektual Muslim dinilai memiliki peran strategis, baik dalam menentukan kebijakan pemerintah maupun peluang memimpin masyarakat; sedangkan ulama dinilai memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat akar rumput, di samping sebagai pelegitimasi hukum terhadap berbagai fakta baru yang berkembang. Dari sini dapat dipahami mengapa Barat begitu getol mengontrol dan mengarahkan sistem pendidikan Islam pencetak para intelektual Muslim dan ulama.

Demikianlah proses sistematik-konspiratif dalam liberalisasi pendidikan Islam di Indonesia. Selama dendam Barat masih menyala terhadap Islam, konspirasi akan terus berlanjut. Tidak ada cara lain bagi umat Islam, selain waspada, adalah merapatkan barisan dan menyusun strategi ke depan, agar serangan-serangan semacam ini tidak menghancurkan harapan kebangkitan Islam dan kaum Muslim.


Mereka yang berpikir Nyeleneh
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel bernama Sulhawi Ruba, pada 5 Mei 2006, dengan sengaja menginjak-injak lafal Allah yang ditulisnya, karena dia menganggap al-Quran adalah budaya; posisi al-Quran tidak berbeda dengan rumput.
Sejumlah mahasiswa IAIN Bandung membuat teriakan meghebohkan: “Selamat Bergabung di Area Bebas Tuhan. Mereka juga mengajak: “Mari berzikir dengan lafadz Anjinghu akbar!
Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang lahir sebuah Jurnal Justisia, yang dalam berbagai edisinya melakukan dekonstruksi dan desakralisasi terhadap Al-Quran. Edisi 23 Th XI, 2003, memuat pengantar redaksi: Dan hanya orang yang mensakralkan Quranlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.

Kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25/2004 dicetak dalam bentuk buku dengan judul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini secara terang mendukung dan mengajak masyarakat untuk mengakui dibenarkannya perkawinan sejenis (homoseksual). untuk lebih jelasnya, silahkan baca saja bukunya. penulis bukan berarti membela atau melawannya, hanya seperti inilah pendapat kebanyakan praktisi pendidikan. wallahu a'lam bissowab

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar