Sesuai dengan makna asal katanya “hermeneutik” berarti ”penafsiran” atau “interpretasi”. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Secara agak khusus problem hermeneutik sebenarnya terkait dengan proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah pesan (lisan atau tulis) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda. Dengan demikian tugas pokok hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik (terpahami atau dimengerti) oleh kita yang hidup dizaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Istilah hermeneutik ini mulai dipergunakan baru dalam abad 17 dan ke 18 yakni untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi). Dalam filsafat dewasa ini, istilah “hermeneutik” dipakai dalam arti yang amat luas yang meliputi hampir semua tema filosofis yang tradisional sejauh berkaitan dengan masalah “bahasa”. Dengan demikian hermeneutik ini sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang cara “memahami” atau “mengerti” (verstehen) di satu sisi dengan “bahasa” di sisi yang lain.
Hubungan antara “mengerti” di satu sisi dengan “bahasa” disisi yang lain memang sangat erat kaitannya. Bahasa adalah totalitas ekspresi perasaan dan pikiran yang dituangkan dalam simbol, gerak dan huruf namun untuk mengetahui secara persis maksud pembicaraan masih diperlukan penafsiran. Kita hidup tidak bisa keluar dari jaring-jaring bahasa dan setiap peristiwa komunikasi bahasa mesti memerlukan penafsiran. Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu didalamnya tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan kepada kita melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu tanpa ada kecualinya - sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan pemahaman. Dengan kata lain memahami bahasa memungkinkan kita untuk berpartisipasi pada pemakaian bahasa di masa-masa yang akan datang. Bahasa adalah perantara yang nyata bagi hubungan umat manusia. Tradisi dan kebudayaan kita segala warisan nenek moyang kita sebagai suatu bangsa, semua itu terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada batu prasasti maupun yang ditulis pada daun lontar. Oleh karena sedemikian urgen keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia, sehingga Gadamer mengabstraksikan keberadaan bahasa sampai pada tingkat ontologis bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dengan demikian menurut wawasan Gadamer - dengan sekedar meminjam istilah kaum strukturalisme - bahwa semua realitas hidup manusia baik dirinya sendiri maupun hal-hal yang mengelilinginya adalah teks yang bisa dibaca dan ditafsirkan olehnya.
Mengingat tradisi hermeneutik ini pada awalnya sangat erat kaitannya dengan kajian filologi, yakni, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks yang bertujuan untuk menafsirkan dan memahami teks tersebut, maka metode ini tampaknya sangat sesuai untuk tujuan pengkaijan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fenomena kesejarahan (historiografi). Oleh karena itu wajar jika dalam perkembangnnya lebih lanjut, yakni tepatnya pada abad ke 18, hermeneutik mulai diaplikasikan ke dalam lapangan ilmu pengetahuan budaya (Geistewissenschaften). Dalam hal ini peranan Friederich Schleiermacher (1768-1834) sangat menentukan. Ia hendak merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisihkan historisitas sang sejarahwan. Untuk memahami fakta-fakta histotisitas tersebut, maka diperlukan metode hermeneutis. Hanya saja Schleiermacher segera membedakan antara hermeneutik sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik sebagai studi tentang memahami itu sendiri. Dengan kata lain, Schleiermacher masih membedakan antara hermeneutik sebagai metode ilmiah dan sebagai kajian filosofis.
Adapun untuk mengerti atau memahami suatu teks dari masa lampau, menurutnya kita harus keluar dari jaman dimana kita hidup sekarang, merekonstruksi jaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat ia menulis teks. Dengan demikian proses pemahaman menuntut pembaca untuk mampu menempatkan diri pada posisi kehidupan, pemikiran dan perasaan dari sang pengarang agar memperpendek jarak antara dunia pembaca dan dunia pengarangnya. Ia menganggap bahwa hermeneutik sebagai studi tentang memahami.
Sementara Wilhelm Dilthey (1833-1911), meneruskan dan meneguhkan hermeneutik Schleiemacher. Dilthey menaruh perhatian pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Dengan kata lain, hermeneutik bagi Wilhelm Dilthey adalah suatu metode ilmiah yang dianggap paling sesuai untuk kajian-kajian ilmu kemanusiaan. Pendapat ini rupanya muncul ketika ia menjumpai sejumlah fenomena tentang eksistensi manusia, dimana ia dikejutkan oleh banyak variabel yang relatif tidak dapat digeneralisir begitu saja. Sistem individual pada dasarnya merupakan produk dari sistem eksternal yang telah menstruktur kondisi eksistensi manusia. Jadi, hanya pengetahuan tentang aspek individual yang terstruktur oleh sistem eksternal sajalah yang akan mampu meraih interpretasi obyektif tentang situasi historis setiap individu. Dengan kata lain yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal. Individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti, sejarah, keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatannya. Kenyataan inilah yang kemudian membawanya kepada pemisahan yang serius antara lapangan dan metode Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam) dan Geistewissenschaften (ilmu pengetahuan tentang bhatin manusia). Dilthey, menganggap perbedaan itu sangat penting mengingat pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan itu mempergunakan metode atau metodologi pembahasan yang berbeda satu dengan lainnya. Ilmu-Ilmu pengetahuan tentang alam fisik mempergunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang ketat. Di sisi lain, yang disebut ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode-metode ilmiah seperti pada ilmu-ilmu alam dan eksakta sebab ilmu-ilmu ini berhubungan dengan hidup manusia. “Hidup” penuh dengan makna. Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan hidupnya, maka pemahaman terhadap diri sendiri adalah mutlak. Pemahaman tentang Geistewissenschaften (ilmu pengetahuan tentang hidup) tergantung pada pengalaman-pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah. Dengan demikian, menurut Dilthey perlu dibedakan dua kecenderungan metodis, yakni metode yang berorientasi pada upaya “menjelaskan” (erklaren) dan metode untuk “mengerti” (verstehen).
Sementara bagi Hans-George Gadamer, hermeneutik bukanlah sebuah metode sekedar alat untuk “memahami” sesuatu (teks) tetapi hermeneutik sendiri adalah pemahaman yang oleh karenanya ia merupakan fakta ontologis. Dengan demikian , tampaknya yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Bagi Gadamer,”memahami” atau “mengerti” mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti sudah harus ada prapengertian. Untuk mencapai pengertian satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada prapengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu, kalau tidak maka sekali-kali tidak pernah akan mungkin memperoleh pengertian tentang hal tersebut. Tetapi dilain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses inilah yang dinamakannya sebagai “lingkaran hermeneutis”. Lingkaran ini menurutnya sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental . Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri.
Sedangkan , Jurgen Habermas meskipun tidak secara eksplisit menggunakan gagasan hermeneutik namun dalam beberapa tulisannya ia menyinggung permasalah yang berkaitan dengan masalah hermeneutik. Hal ini terutama terlihat dari karyanya yang berjudul “Knowledge and Human Interest”, yang didalamnya ia banyak menyinggung masalah penjelasan dan pemahaman. Menurutnya, penjelasan menuntut penerapan proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu. Dalam hal ini ia ingin menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara obyektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, sedangkan pemahaman menjadi bagian subyektifnya. Sebab pemahaman melibatkan juga pengalaman penafsir. Namun yang menarik dari konsep Habermas adalah dibedakannya pemahaman pada umumnya dengan pemahaman hermeneutik. Pemahaman hermeneutik tidak menganalisis struktur sebagaimana pemahaman pada umumnya, tetapi pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan simbol-simbol sebagai hubungan antar fakta.
Adapun Paul Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutik adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Dengan demikian, hermeneutik dalam pandangan Ricoeur bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya (makna) yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.
Seperti halnya Gadamer, Jacques Derrida pun meski tidak secara eksplisit menampilkan gagasan hermeneutik dalam konsep-konsepnya, namun dalam beberapa hal ia menyinggung persoalan hermeneutik. Gagasan hermeneutik terutama disinggung ketika ia mempersoalkan masalah pemahaman tentang makna. Menurutnya, untuk menemukan makna yang tersembunyi orang harus membuka selubungnya melihat isi secara terpisah, membuang semua hubungan yang sudah ada antara kata dan konsep. Ini merupakan cara untuk menghapus prasangka. Sumber utama timbulnya kesalahpahaman atau salah pengertian.
Dari uraian tentang pemikiran para tokoh hermeneutik tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hermeneutik pada dasarnya sangat terkait dengan proses pemahaman (verstehen) terhadap realitas (makna) apapun terutama yang berkaitan dengan teks yang bernilai historis. Kalau dicari akarnya, hermeneutik terutama pada abad ke 19, yakni sejak jaman Wilhelm Dilthey sebenarnya berfungsi sebagai metodologis yang mandiri. Sebagai metode tentunya ia memiliki alasan epistemologis tersendiri. Hal ini misalnya tampak dalam gagasan Dilthey yang memilah fakta fisis yang menjadi obyek ilmu pengetahuan alam dengan fakta hidup yang menjadi obyek bagi ilmu pengetahuan kemanusiaan. Jika dalam ilmu pengetahuan alam obyek yang dihadapinya cenderung konstans dan konsisten, sehingga memungkinkan untuk dapat dijelaskan dan diabstraksikan menuju perumusan hukum dan teori. Namun akan lain halnya dengan realitas kemanusiaan berikut produk-produknya sangat bersifat relatif sekali. Bagi Dilthey sebagaimana tokoh hermeneutik lainnya menganggap bahwa realitas hidup itu sangat unik dan relatif memiliki makna yang beragam. Setiap individu tentu mengalami dan memahami makna hidupnya tersendiri. Oleh karena pengalaman dan pemahaman setiap individu berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka tidak ada kesatuan abstraksi yang bersifat universal tentang fakta-fakta kehidupan manusia. Disinilah letak signifikasi metode hermeneutik dalam kajian-kajian ilmu kemanusiaan. Dengan demikian, berbeda dengan metodologis ilmu pengalaman alam yang secara sadar dan tegas membuat jarak senetral mungkin antara subyek dan obyek, maka dalam metode hermeneutik justru subyek meleburkan diri dan memperbanyak dialog dan partisipasi dalam wilayah tradisi dan jaringan teks.
Dalam perspektif sejarah filsafat ilmu tampaknya kehadiran hermeneutik memberikan alternatif lain bagi perkembangan metodologis keilmuan pada umumnya. Hal ini dapat dipahami mengingat sejak awal abad 19 hingga awal abad 20 pertumbuhan metodologis keilmuan senantiasa didominasi oleh semangat neo-positivisme. Semangat metodis ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Lingkaran Wina (Wiener Kreis). Dalam operasi metodisnya Wiener Kreis ini memberikan pengutamaan pada pengolahan secara logika terhadap bahan-bahan empirik. Cara kerja yang berwatak empirik-logis ini untuk pertama kalinya diintrodusir oleh Rudolf Carnap (1891-1970). Ia selalu menyatakan bahwa kita tidak dapat bekerja dengan memakai logika lama, sebaliknya logika baru mengandung segala kemungkinan untuk mengolah bahan-bahan empirik yang tersedia. Selain bersifat empirik-logis, prinsip metodis yang paling ditonjolkan adalah verifikasi. Verifikasi berarti pengukuhan oleh pangamatan empirik. Sebagai akibat dari prinsip metodis ini maka setiap tanggapan yang pada dasarnya tidak dapat dikukuhkan oleh pengamatan empirik dianggap tidak bermakna. Dengan demikian yang bermakna ialah apa yang dapat dikukuhkan oleh fakta-fakta.
Kalau tanggapan yang diperoleh melalui pengamatan empirik senantiasa berupa bahasa, yakni pernyataan-pernyataan yang disusun berdasarkan logika. Maka, sebagaimana ditekankan oleh Morizt Schlick (1882-1936), hanya pernyataan-pernyataan logis yang dapat diverifikasi secara empiriklah yang dapat disebut sebagai pernyataan yang bermakna (benar). Meskipun demikian Lingkaran Wina sendiri masih mengakui adanya pernyataan-pernyataan logis yang tidak dapat diverifikasi secara empirik. Pernyataan-pernyataan ini lazim dinamakan sebagai tautologis. Tautologis ini hanya menunjukkan apa yang dikandung dalam praanggapan-praanggapan tertentu dalam bentuk aksioma.
Tampaknya prinsip-prinsip metodis dari Lingkaran Wina tersebut bukan suatu kebetulan jika kemudian memperoleh kesesuaiannya dengan tradisi berpikir neo-realisme (analitika bahasa) Inggris. Hal ini dapat dimaklumi, karena setelah bubarnya Lingkaran Wina sejumlah anggotanya mengungsi ke Inggris. Sehingga wajar jika dalam jangka waktu tertentu neo-realisme memperlihatkan kesesuaian pemikiran yang sangat besar dengan neo-positivisme. Pengaruh neo-positivisme tidak akan begitu besarnya seandainya tokoh Austria, Ludwig Wittgenstein (1889-1951) tidak semenjak masa hidupnya sebagai mahasiswa berhubungan erat dengan Russell dengan lingkungan Cambridge, baik Lingkaran Wina maupun neo-realisme Inggris kemudian sangat terpengaruh oleh Wittgenstein.
Pada awalnya yakni sebagaimana tertuang dalam karyanya “Tractatus Philosophicus”, pemikirannya sangat dipengaruhi oleh picture theory-nya Bertrand Russell. Menurutnya, antara dunia dan bahasa ada paralel mutlak. Bahasa mencerminkan dunia dan pemakaian bahasa menurut struktur yang tepat, dapat memberikan pemahaman tentang struktur dunia. Di dalam pikiran awalnya ini, ia berpendirian bahwa bahasa terdiri dari kalimat-kalimat atom atau atom-atom logis, yaitu ungkapan-ungkapan yang paling sederhana, dan tidak dapat direduksi lagi. Dan ucapan-ucapan itu terdiri dari tanda-tanda atau nama-nama sederhana yang langsung menunjukkan obyek. Dengan demikian menurutnya seluruh tugas filsafat ialah menjelaskan dan menepatkan bahasa, sebab dengan jalan demikian juga dunia sendiri menjadi jelas. Dalam pendirian ini tersirat bahwa ungkapan bahasa tidak dapat melampaui batas-batas riil dunia. Batas-batas bahasa juga merupakan batas-batas dunia. Sehingga ungkapan bahasa yang tidak memiliki kesesuaian dengan dunia riel dianggap tidak bermakna. Prinsip inilah yang kemudian dikembangkan oleh neo-positivisme menjadi operasionalisasi metodis empirik-logis, dimana verifikasi menjadi satu-satunya alat metodis yang dianggap paling sahih untuk menentukan bermakna tidaknya suatu pernyataan-pernyataan.
Pada masa kedua pemikirannya, yakni dalam karyanya “Philosophical Investigation”, ia tidak lagi menggunakan kerangka pendekatan picture theory, yang menunjuk pada kesesuaian antara bahasa dan dunia riil (external consistency). Menurutnya pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Pikiran bukanlah suatu proses dibalik bahasa, melainkan terjadi dalam dan terdiri dari linguistic behaviour. Bahasa tidak dapat dikembalikan hanya kepada satu struktur logis saja, seperti misalnya ada dalam ucapan-ucapan yang bersifat kognitif atau deskriptif belaka. Bahasa bukan hanya memberikan informasi tetapi mempunyai fungsi dan makna yang bermacam-macam, misalnya bersumpah, berdoa, membicarakan warna atau penyakit; ada bahasa ilmiah, bahasa puisi dan seni, bahasa etis, keserbaragaman itu harus diterima sebagai fakta dan diungkapkannya dengan istilah language games. Dalam berbagai macam language games, kata-kata tidak mempunyai arti apriori. “Arti” itu bukan sesuatu dibelakang bahasa: tidak ada arti “pokok”. Arti kata-kata tergantung dari pemakaiannya. Arti itu seluruhnya tergantung dari tempatnya di dalam salah satu “permainan bahasa” itu, dalam konteks hidup dan kegiatan. Prinsip tentang relatifitas makna yang terdapat pada teks inilah yang nantinya dikembangkan ke dalam tradisi hermeneutik. Dimana untuk “memahami” (verstehen) makna suatu teks dalam arti luas (termasuk fakta-fakta kemanusiaan pada khususnya ) diperlukan upaya “mengalami” terlebih dahulu dengan konstelasi teks yang hendak dipahami. Dengan kata lain, sebagaimana dalam dalam metode ilmu pada umumnya, hermeneutik berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar , yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks. Namun berbeda dengan metode keilmuan lainnya, terutama dengan ilmu pengetahuan alam, dalam proses pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan menggunakan pola bernalar induksi dan tidak pula deduksi melainkan dengan pola bernalar alternatif yang disebut abduksi, yaitu: menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Disini pra-konsepsi dan pra-disposisi
seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna.
Dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila tradisi neo-positivisme yang menggunakan prinsip-prinsip metodis seperti empiris-logis dan verifikasi memiliki akar filosofis ke dalam pemikiran awal Wittgenstein, maka tradisi hermeneutik yang menggunakan prinsip-prinsip metodis seperti verstehen, abduksi memiliki akar filosofisnya ke dalam pemikiran kedua Wittgenstein. Dengan demikian, kedua tradisi ini sebenarnya saling melengkapi satu dengan lainnya.
DAFTAR KEPUSTAKAANHubungan antara “mengerti” di satu sisi dengan “bahasa” disisi yang lain memang sangat erat kaitannya. Bahasa adalah totalitas ekspresi perasaan dan pikiran yang dituangkan dalam simbol, gerak dan huruf namun untuk mengetahui secara persis maksud pembicaraan masih diperlukan penafsiran. Kita hidup tidak bisa keluar dari jaring-jaring bahasa dan setiap peristiwa komunikasi bahasa mesti memerlukan penafsiran. Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu didalamnya tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan kepada kita melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu tanpa ada kecualinya - sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan pemahaman. Dengan kata lain memahami bahasa memungkinkan kita untuk berpartisipasi pada pemakaian bahasa di masa-masa yang akan datang. Bahasa adalah perantara yang nyata bagi hubungan umat manusia. Tradisi dan kebudayaan kita segala warisan nenek moyang kita sebagai suatu bangsa, semua itu terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada batu prasasti maupun yang ditulis pada daun lontar. Oleh karena sedemikian urgen keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia, sehingga Gadamer mengabstraksikan keberadaan bahasa sampai pada tingkat ontologis bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dengan demikian menurut wawasan Gadamer - dengan sekedar meminjam istilah kaum strukturalisme - bahwa semua realitas hidup manusia baik dirinya sendiri maupun hal-hal yang mengelilinginya adalah teks yang bisa dibaca dan ditafsirkan olehnya.
Mengingat tradisi hermeneutik ini pada awalnya sangat erat kaitannya dengan kajian filologi, yakni, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks yang bertujuan untuk menafsirkan dan memahami teks tersebut, maka metode ini tampaknya sangat sesuai untuk tujuan pengkaijan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fenomena kesejarahan (historiografi). Oleh karena itu wajar jika dalam perkembangnnya lebih lanjut, yakni tepatnya pada abad ke 18, hermeneutik mulai diaplikasikan ke dalam lapangan ilmu pengetahuan budaya (Geistewissenschaften). Dalam hal ini peranan Friederich Schleiermacher (1768-1834) sangat menentukan. Ia hendak merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisihkan historisitas sang sejarahwan. Untuk memahami fakta-fakta histotisitas tersebut, maka diperlukan metode hermeneutis. Hanya saja Schleiermacher segera membedakan antara hermeneutik sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik sebagai studi tentang memahami itu sendiri. Dengan kata lain, Schleiermacher masih membedakan antara hermeneutik sebagai metode ilmiah dan sebagai kajian filosofis.
Adapun untuk mengerti atau memahami suatu teks dari masa lampau, menurutnya kita harus keluar dari jaman dimana kita hidup sekarang, merekonstruksi jaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat ia menulis teks. Dengan demikian proses pemahaman menuntut pembaca untuk mampu menempatkan diri pada posisi kehidupan, pemikiran dan perasaan dari sang pengarang agar memperpendek jarak antara dunia pembaca dan dunia pengarangnya. Ia menganggap bahwa hermeneutik sebagai studi tentang memahami.
Sementara Wilhelm Dilthey (1833-1911), meneruskan dan meneguhkan hermeneutik Schleiemacher. Dilthey menaruh perhatian pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Dengan kata lain, hermeneutik bagi Wilhelm Dilthey adalah suatu metode ilmiah yang dianggap paling sesuai untuk kajian-kajian ilmu kemanusiaan. Pendapat ini rupanya muncul ketika ia menjumpai sejumlah fenomena tentang eksistensi manusia, dimana ia dikejutkan oleh banyak variabel yang relatif tidak dapat digeneralisir begitu saja. Sistem individual pada dasarnya merupakan produk dari sistem eksternal yang telah menstruktur kondisi eksistensi manusia. Jadi, hanya pengetahuan tentang aspek individual yang terstruktur oleh sistem eksternal sajalah yang akan mampu meraih interpretasi obyektif tentang situasi historis setiap individu. Dengan kata lain yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal. Individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti, sejarah, keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatannya. Kenyataan inilah yang kemudian membawanya kepada pemisahan yang serius antara lapangan dan metode Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam) dan Geistewissenschaften (ilmu pengetahuan tentang bhatin manusia). Dilthey, menganggap perbedaan itu sangat penting mengingat pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan itu mempergunakan metode atau metodologi pembahasan yang berbeda satu dengan lainnya. Ilmu-Ilmu pengetahuan tentang alam fisik mempergunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang ketat. Di sisi lain, yang disebut ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode-metode ilmiah seperti pada ilmu-ilmu alam dan eksakta sebab ilmu-ilmu ini berhubungan dengan hidup manusia. “Hidup” penuh dengan makna. Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan hidupnya, maka pemahaman terhadap diri sendiri adalah mutlak. Pemahaman tentang Geistewissenschaften (ilmu pengetahuan tentang hidup) tergantung pada pengalaman-pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah. Dengan demikian, menurut Dilthey perlu dibedakan dua kecenderungan metodis, yakni metode yang berorientasi pada upaya “menjelaskan” (erklaren) dan metode untuk “mengerti” (verstehen).
Sementara bagi Hans-George Gadamer, hermeneutik bukanlah sebuah metode sekedar alat untuk “memahami” sesuatu (teks) tetapi hermeneutik sendiri adalah pemahaman yang oleh karenanya ia merupakan fakta ontologis. Dengan demikian , tampaknya yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Bagi Gadamer,”memahami” atau “mengerti” mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti sudah harus ada prapengertian. Untuk mencapai pengertian satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada prapengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu, kalau tidak maka sekali-kali tidak pernah akan mungkin memperoleh pengertian tentang hal tersebut. Tetapi dilain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses inilah yang dinamakannya sebagai “lingkaran hermeneutis”. Lingkaran ini menurutnya sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental . Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri.
Sedangkan , Jurgen Habermas meskipun tidak secara eksplisit menggunakan gagasan hermeneutik namun dalam beberapa tulisannya ia menyinggung permasalah yang berkaitan dengan masalah hermeneutik. Hal ini terutama terlihat dari karyanya yang berjudul “Knowledge and Human Interest”, yang didalamnya ia banyak menyinggung masalah penjelasan dan pemahaman. Menurutnya, penjelasan menuntut penerapan proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu. Dalam hal ini ia ingin menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara obyektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, sedangkan pemahaman menjadi bagian subyektifnya. Sebab pemahaman melibatkan juga pengalaman penafsir. Namun yang menarik dari konsep Habermas adalah dibedakannya pemahaman pada umumnya dengan pemahaman hermeneutik. Pemahaman hermeneutik tidak menganalisis struktur sebagaimana pemahaman pada umumnya, tetapi pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan simbol-simbol sebagai hubungan antar fakta.
Adapun Paul Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutik adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Dengan demikian, hermeneutik dalam pandangan Ricoeur bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya (makna) yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.
Seperti halnya Gadamer, Jacques Derrida pun meski tidak secara eksplisit menampilkan gagasan hermeneutik dalam konsep-konsepnya, namun dalam beberapa hal ia menyinggung persoalan hermeneutik. Gagasan hermeneutik terutama disinggung ketika ia mempersoalkan masalah pemahaman tentang makna. Menurutnya, untuk menemukan makna yang tersembunyi orang harus membuka selubungnya melihat isi secara terpisah, membuang semua hubungan yang sudah ada antara kata dan konsep. Ini merupakan cara untuk menghapus prasangka. Sumber utama timbulnya kesalahpahaman atau salah pengertian.
Dari uraian tentang pemikiran para tokoh hermeneutik tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hermeneutik pada dasarnya sangat terkait dengan proses pemahaman (verstehen) terhadap realitas (makna) apapun terutama yang berkaitan dengan teks yang bernilai historis. Kalau dicari akarnya, hermeneutik terutama pada abad ke 19, yakni sejak jaman Wilhelm Dilthey sebenarnya berfungsi sebagai metodologis yang mandiri. Sebagai metode tentunya ia memiliki alasan epistemologis tersendiri. Hal ini misalnya tampak dalam gagasan Dilthey yang memilah fakta fisis yang menjadi obyek ilmu pengetahuan alam dengan fakta hidup yang menjadi obyek bagi ilmu pengetahuan kemanusiaan. Jika dalam ilmu pengetahuan alam obyek yang dihadapinya cenderung konstans dan konsisten, sehingga memungkinkan untuk dapat dijelaskan dan diabstraksikan menuju perumusan hukum dan teori. Namun akan lain halnya dengan realitas kemanusiaan berikut produk-produknya sangat bersifat relatif sekali. Bagi Dilthey sebagaimana tokoh hermeneutik lainnya menganggap bahwa realitas hidup itu sangat unik dan relatif memiliki makna yang beragam. Setiap individu tentu mengalami dan memahami makna hidupnya tersendiri. Oleh karena pengalaman dan pemahaman setiap individu berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka tidak ada kesatuan abstraksi yang bersifat universal tentang fakta-fakta kehidupan manusia. Disinilah letak signifikasi metode hermeneutik dalam kajian-kajian ilmu kemanusiaan. Dengan demikian, berbeda dengan metodologis ilmu pengalaman alam yang secara sadar dan tegas membuat jarak senetral mungkin antara subyek dan obyek, maka dalam metode hermeneutik justru subyek meleburkan diri dan memperbanyak dialog dan partisipasi dalam wilayah tradisi dan jaringan teks.
Dalam perspektif sejarah filsafat ilmu tampaknya kehadiran hermeneutik memberikan alternatif lain bagi perkembangan metodologis keilmuan pada umumnya. Hal ini dapat dipahami mengingat sejak awal abad 19 hingga awal abad 20 pertumbuhan metodologis keilmuan senantiasa didominasi oleh semangat neo-positivisme. Semangat metodis ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Lingkaran Wina (Wiener Kreis). Dalam operasi metodisnya Wiener Kreis ini memberikan pengutamaan pada pengolahan secara logika terhadap bahan-bahan empirik. Cara kerja yang berwatak empirik-logis ini untuk pertama kalinya diintrodusir oleh Rudolf Carnap (1891-1970). Ia selalu menyatakan bahwa kita tidak dapat bekerja dengan memakai logika lama, sebaliknya logika baru mengandung segala kemungkinan untuk mengolah bahan-bahan empirik yang tersedia. Selain bersifat empirik-logis, prinsip metodis yang paling ditonjolkan adalah verifikasi. Verifikasi berarti pengukuhan oleh pangamatan empirik. Sebagai akibat dari prinsip metodis ini maka setiap tanggapan yang pada dasarnya tidak dapat dikukuhkan oleh pengamatan empirik dianggap tidak bermakna. Dengan demikian yang bermakna ialah apa yang dapat dikukuhkan oleh fakta-fakta.
Kalau tanggapan yang diperoleh melalui pengamatan empirik senantiasa berupa bahasa, yakni pernyataan-pernyataan yang disusun berdasarkan logika. Maka, sebagaimana ditekankan oleh Morizt Schlick (1882-1936), hanya pernyataan-pernyataan logis yang dapat diverifikasi secara empiriklah yang dapat disebut sebagai pernyataan yang bermakna (benar). Meskipun demikian Lingkaran Wina sendiri masih mengakui adanya pernyataan-pernyataan logis yang tidak dapat diverifikasi secara empirik. Pernyataan-pernyataan ini lazim dinamakan sebagai tautologis. Tautologis ini hanya menunjukkan apa yang dikandung dalam praanggapan-praanggapan tertentu dalam bentuk aksioma.
Tampaknya prinsip-prinsip metodis dari Lingkaran Wina tersebut bukan suatu kebetulan jika kemudian memperoleh kesesuaiannya dengan tradisi berpikir neo-realisme (analitika bahasa) Inggris. Hal ini dapat dimaklumi, karena setelah bubarnya Lingkaran Wina sejumlah anggotanya mengungsi ke Inggris. Sehingga wajar jika dalam jangka waktu tertentu neo-realisme memperlihatkan kesesuaian pemikiran yang sangat besar dengan neo-positivisme. Pengaruh neo-positivisme tidak akan begitu besarnya seandainya tokoh Austria, Ludwig Wittgenstein (1889-1951) tidak semenjak masa hidupnya sebagai mahasiswa berhubungan erat dengan Russell dengan lingkungan Cambridge, baik Lingkaran Wina maupun neo-realisme Inggris kemudian sangat terpengaruh oleh Wittgenstein.
Pada awalnya yakni sebagaimana tertuang dalam karyanya “Tractatus Philosophicus”, pemikirannya sangat dipengaruhi oleh picture theory-nya Bertrand Russell. Menurutnya, antara dunia dan bahasa ada paralel mutlak. Bahasa mencerminkan dunia dan pemakaian bahasa menurut struktur yang tepat, dapat memberikan pemahaman tentang struktur dunia. Di dalam pikiran awalnya ini, ia berpendirian bahwa bahasa terdiri dari kalimat-kalimat atom atau atom-atom logis, yaitu ungkapan-ungkapan yang paling sederhana, dan tidak dapat direduksi lagi. Dan ucapan-ucapan itu terdiri dari tanda-tanda atau nama-nama sederhana yang langsung menunjukkan obyek. Dengan demikian menurutnya seluruh tugas filsafat ialah menjelaskan dan menepatkan bahasa, sebab dengan jalan demikian juga dunia sendiri menjadi jelas. Dalam pendirian ini tersirat bahwa ungkapan bahasa tidak dapat melampaui batas-batas riil dunia. Batas-batas bahasa juga merupakan batas-batas dunia. Sehingga ungkapan bahasa yang tidak memiliki kesesuaian dengan dunia riel dianggap tidak bermakna. Prinsip inilah yang kemudian dikembangkan oleh neo-positivisme menjadi operasionalisasi metodis empirik-logis, dimana verifikasi menjadi satu-satunya alat metodis yang dianggap paling sahih untuk menentukan bermakna tidaknya suatu pernyataan-pernyataan.
Pada masa kedua pemikirannya, yakni dalam karyanya “Philosophical Investigation”, ia tidak lagi menggunakan kerangka pendekatan picture theory, yang menunjuk pada kesesuaian antara bahasa dan dunia riil (external consistency). Menurutnya pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Pikiran bukanlah suatu proses dibalik bahasa, melainkan terjadi dalam dan terdiri dari linguistic behaviour. Bahasa tidak dapat dikembalikan hanya kepada satu struktur logis saja, seperti misalnya ada dalam ucapan-ucapan yang bersifat kognitif atau deskriptif belaka. Bahasa bukan hanya memberikan informasi tetapi mempunyai fungsi dan makna yang bermacam-macam, misalnya bersumpah, berdoa, membicarakan warna atau penyakit; ada bahasa ilmiah, bahasa puisi dan seni, bahasa etis, keserbaragaman itu harus diterima sebagai fakta dan diungkapkannya dengan istilah language games. Dalam berbagai macam language games, kata-kata tidak mempunyai arti apriori. “Arti” itu bukan sesuatu dibelakang bahasa: tidak ada arti “pokok”. Arti kata-kata tergantung dari pemakaiannya. Arti itu seluruhnya tergantung dari tempatnya di dalam salah satu “permainan bahasa” itu, dalam konteks hidup dan kegiatan. Prinsip tentang relatifitas makna yang terdapat pada teks inilah yang nantinya dikembangkan ke dalam tradisi hermeneutik. Dimana untuk “memahami” (verstehen) makna suatu teks dalam arti luas (termasuk fakta-fakta kemanusiaan pada khususnya ) diperlukan upaya “mengalami” terlebih dahulu dengan konstelasi teks yang hendak dipahami. Dengan kata lain, sebagaimana dalam dalam metode ilmu pada umumnya, hermeneutik berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar , yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks. Namun berbeda dengan metode keilmuan lainnya, terutama dengan ilmu pengetahuan alam, dalam proses pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan menggunakan pola bernalar induksi dan tidak pula deduksi melainkan dengan pola bernalar alternatif yang disebut abduksi, yaitu: menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Disini pra-konsepsi dan pra-disposisi
seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna.
Dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila tradisi neo-positivisme yang menggunakan prinsip-prinsip metodis seperti empiris-logis dan verifikasi memiliki akar filosofis ke dalam pemikiran awal Wittgenstein, maka tradisi hermeneutik yang menggunakan prinsip-prinsip metodis seperti verstehen, abduksi memiliki akar filosofisnya ke dalam pemikiran kedua Wittgenstein. Dengan demikian, kedua tradisi ini sebenarnya saling melengkapi satu dengan lainnya.
Bauman, Zygmunt. Hermeneutics and Social Science (New York: Columbia University Press,1978)
Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX (Inggris-Jerman) (Jakarta: PT. Gramedia,1983)
Charlesworth, M.J.Philosophy and Linguistic Analysis (Pitsburgh: Duquesne University,1959)
Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1988)
Edward (ed), The Encyclopedia of Philosophy (New York: MacMillan co.,1972),8-336-338
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method (New York: Crossroad Publishing Co.,1986)
Habermas, Jurgen .Knowledge And Human Interest (Boston: Connecticut Greenwood Press,1972),144
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina,1996),18
Kreemer, Angele – Marietti,Dilthey (Paris: Seghers,1971)
Montefiore, Alan. Philosophy in France today (Cambridge: Cambridge University Press,1983)
Palmers, Richard F.,Hermeneutics(Evanston:Northwestern University Press,1969)
Ricoeur, Paul. Hermeneutics And The Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press,1985)
Schleiermacher F.D.F.,Hermeneutics: The Handwritten Manuscript, Heinz Kimmerle (New York: Montana Scholar Press,1977)
Sumaryono, E.Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1993)
Thiselton, Antony C..New Horizon in Hermeneutics (Michigan: Zondervan Publishing House,1992)
Weinberg, J.R.An Examination of Logical Positivism (London: Routledge-Kegan Paul,1950)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar