BAB II
A. MODEL PEMBELAJARAN LEARNING BY DOING
- Dasar dan Tujuan Model Pembelajaran Learning by Doing
Belajar bagi kehidupan manusia menjadi bagian yang sangat penting, karena manusia diciptakan sebagai pengelola dunia (khalifah fil ardi). Secara bertahap mereka akan mengalami fase pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman. Sebagai ilustrasi terdekat adalah bayi manusia yang dilahirkan, jika tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa yang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu mengembangkan naluri/intrinsik dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya tanpa pengaruh dari luar.[1]
Beberapa pendapat tentang pengertian belajar banyak disebutkan, diantaranya, Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang dalam situasi tersebut, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).[2] Lebih lanjut Piaget berpendapat seperti yang disadur Dimyati dan Mudjiono bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi intelek semakin berkembang. Pengetahuan dibangun atas dasar tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Sedangkan prosesnya didasarkan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Fase eksplorasi mengarahkan siswa mempelajari gejala dengan bimbingan, fase pengenalan konsep adalah mengenalkan siswa akan konsep yang berhubungan dengan gejala, sedangkan fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.[3]
Uraian tersebut merupakan proses internal yang kompleks dan melibatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subyek, yaitu dari siswa dan dari guru. Siswa secara lagsung mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar berupa; keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam literatur. Proses belajar diamati dari prilaku belajar tentang sesuatu hal, proses ini dapat diamati secara tidak langsung, yaitu proses internal siswa tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat dipahami oleh guru.[4]
Sebagai upaya merancang, mengelola dan mengembangkan program pembelajaran dalam kegiatan mengajar, guru diharapkan mampu mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran, diantaranya:
a. Karakteristik tujuan, yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditinggalkan sebagai hasil kegiatan.
b. Karakteristik mata pelajaran/bidang studi, meliputi tujuan isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
c. Karakteristik siswa, meliputi karakteristik prilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin dan yang lain.
d. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaanya, pengalaman kependidikanya dan yang lain.
Hubungan faktor-faktor penentu tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Peran guru dalam hal ini adalah tetap konsisten untuk mempertimbangkan faktor eksternal (diluar dari guru), faktor internal (dalam diri guru), sehingga teknik-teknik pembelajaran efektif dapat dilaksanakan.[5]
Pola pengajaran guru berkaitan erat dengan pilihan metode, jika bahan pelajaran disajikan secara menarik besar kemungkinan motivasi belajar siswa akan meningkat.[6] Sesuai yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa model adalah acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[7] Keterkaitan dengan pembelajaran sesuai ungkapan Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan yang mengutip pendapat Morgan dalam bukunya Introduction to Psichology mengemukakan “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.[8] Metode yang dimaksud didasarkan pada model pembelajaran yang dipakai, model pembelajaran dalam hal ini diartikan sebagai acuan proses perubahan tingkah laku yang dihasilkan melalui pengalaman.
Keterlibatan langsung anak didik dalam proses edukatif menjadi pengalaman terarah yang diharapkan mengakar pada diri anak didik. Karena pengalaman memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok, inilah upaya untuk memberikan arah baru bagi tugas sekolah.[9] Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik riil yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif “by doing it”.[10]
2. Bentuk-bentuk Learning by Doing
Interaksi edukatif selayaknya dibangun guru berdasarkan penerapan aktivitas anak didik, yaitu belajar sambil melakukan (Learning by doing). Melakukan aktivitas atau bekerja adalah bentuk pernyataan dari anak didik bahwa pada hakekatnya belajar adalah perubahan yang terjadi setelah melakukan aktivitas atau bekerja. Pada kelas-kelas rendah di Sekolah Dasar, aktivitas ini dapat dilakukan sambil bermain sehingga anak didik akan aktif, senang, gembira, kreatif serta tidak mengikat.[11]
Lebih lanjut guru memposisikan sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak, dengan pengamatanya tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat minat anak. Kondisi demikian merupakan perbaikan dari paradigma pendidikan lama, yang tidak memberikan ruang bagi siswa. Di Sekolah kuno murid hanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey seperti yang dikutip Muis Sad Iman dalam bukunya Pendidikan Partisipatif. Keadaan seperti itu wajib dirubah. Anak harus bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berfikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Tampaklah disini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah Learning by doing yang dikehendaki oleh Dewey dalam do school.[12]
Keterlibatan siswa tidak hanya sebatas fisik semata, tetapi lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.[13]
Pada aspek lain guru juga menkondisikan anak didik dengan menggunakan bentuk-bentuk pengajaran dalam konteks learning by doing, diantaranya:
a. Menumbuhkan motivasi belajar anak
Motivasi berkaitan erat dengan emosi, minat, dan kebutuhan anak didik. Upaya menumbuhkan motivasi intrinsik yang dilakukan guru adalah mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, dan sikap mandiri anak didik, sedangkan bentuk motivasi ekstrinsik adalah dengan memberikan rangsangan berupa pemberian nilai tinggi atau hadiah bagi siswa berprestasi dan sebaliknya.
b. Mengajak anak didik beraktivitas
Adalah proses interaksi edukaktif melibatkan intelek-emosional anak didik untuk meningkatkan aktivitas dan motivasi akan meningkat. Bentuk pelaksanaanya adalah mengajak anak didik melakukan aktivitas atau bekerja di laboratorium, di kebun/lapangan sebagai bagian dari eksplorasi pengalaman, atau mengalami pengalaman yang sam sekali baru.
c. Mengajar dengan memperhatikan perbedaan individual
Proses kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memahami kondisi masing-masing anak didik. Tidak tepat jika guru menyamakan semua anak didik karena setiap anak didik mempunyai bakat berlainan dan mempunyai kecepatan belajar yang bervariasi. Seorang anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Kemudian menyimpulkan semua anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Kondisi demikian tidak dapat dijadikan ukuran, karena terdapat beberapa faktor penyebab anak memiliki hasil belajar buruk, antara lain; faktor kesehatan, kesempatan belajar dirumah tidak ada, sarana belajar kurang, dan sebagainya.
d. Mengajar dengan umpan balik
Bentuknya antara lain; umpan balik kemampuan prilaku anak didik (perubahan tigkah laku yang dapat dilihat anak didik lainnya, pendidik atau anak didik itu sendiri), umpan balik tentang daya serap sebagai pelajaran untuk diterapkan secara aktif. Pola prilaku yang kuat diperoleh melalui partisipasi dalam memainkan peran (role play).
e. Mengajar dengan pengalihan
Pengajaran yang mengalihkan (transfer) hasil belajar kedalam situasi-situasi nyata. Guru memilih metode simulasi (mengajak anak didik untuk melihat proses kegiatan seperti cara berwudlu dan sholat) dan metode proyek (memberikan kesempatan anak untuk menggunakan alam sekitar dan atau kegiatan sehari-hari untuk bertukar pikiran baik sesama kawan maupun guru) untuk pengalihan pengajaran yang bukan hanya bersifat ceramah atau diskusi, tetapi mengedepankan situasi nyata.
f. Penyusunan pemahaman yang logis dan psikologis
Pengajaran dilakukan dengan memilih metode yang proporsional. Dalam kondisi tertentu guru tidak dapat meninggalkan metode ceramah maupun metode pemberian tugas kepada anak didik. Hal ini dilakukan sesuai dengan kondisi materi pelajaran.[14]
- Peran Pengalaman dalam Pembelajaran
Berangkat dari refleksi model pendidikan tradisional yang bersifat dogmatis yang hanya mewariskan segala pengetahuan terhadap generasi baru tanpa didasarkan pada pengujian kritis terhadap prinsip-prinsip fundamentalnya, tidaklah berlebihan jika John Dewey memberikan pemikiran bahwa pendidikan harus mempunyai perubahan orientasi, yaitu pendidikan gaya baru yang menekankan kebebasan pelajar.[15]
Alasan tersebut didasarkan pada pandangan terhadap pendidikan gaya lama yang lebih memaksakan pengetahuan dan jauh dari nilai penunjukan bagi pengalaman pribadi. Anggapan terhadap ketidakpastian itu terdapat suatu kerangka acuan yang tetap, yaitu hubungan organis antara pendidikan dan pengalaman pribadi, atau bahwa filsafat baru mengenai pendidikan itu mengikatkan dirinya pada sejenis filsafat empiris dan eksperimental.[16]
Pengalaman secara kualitas dapat dibedakan menjadi dua aspek, aspek pertama ialah aspek langsung, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan. Aspek kedua adalah pengaruhnya atas berbagai pengalaman kemudian. Uraian terakhir merupakan prinsip yang melandasi mengapa pendidikan berkaitan dengan pengalaman, dan disisi lain memberikan inspirasi bagi guru untuk menata beberapa jenis pengalaman dengan terus merangsang kegiatannya. Sehingga pendidikan yang didasarkan atas pengalaman lebih memilih jenis pengalaman sekarang yang berpengaruh secara kreatif dan produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya.[17]
Seiring mengalirnya arus pengalaman yang disebut oleh John Dewey dengan “eksperience continum” atau kesatuan rangkaian pengalaman, terdapat dua macam proses, yaitu proses mengetahui dan proses evolusi (terjadi berangsur-angsur). Sedangkan kelanjutan dari pengalaman mempunyai makna ganda: (a) dalam suatu waktu tertentu, bermacam ragam aspek pengalaman saling berhubungan, (b) sepanjang waktu pengalaman berlanjut, sebagai rentetan kejadian.[18] Disinilah proses refleksi pengalaman berlangsung, sehingga pengalaman yang kurang berpihak dan kurang menguntungkan bagi pedagogis akan dieliminir untuk kemudian mencoba mencipatakan pengalaman yang sama sekali baru.
Keberadaan pengalaman dalam pendidikan didasarkan pada kebiasaan, jika ditinjau dari segi biologis ciri dasar dari kebiasaan adalah bahwa setiap pengalaman yang diperagakan dan dialami akan mengubah orang yang bertindak dan menjalani pengalaman tersebut, sementara modifikasinya mempengaruhi kualitas seluruh pengalaman berikutnya. Prinsip ini meliputi proses pembentukan berbagai sikap emosional dan intelektual, yaitu kepekaan dasar dan segala cara menanggulangi serta menanggapi semua situasi yang kita jumpai dalam hidup.[19]
Terkait dengan pola pembelajaran anak TK, pengalaman menjadi faktor yang tak terpisahkan. Pendidikan bagi anak TK harus diintegrasikan dengan lingkungan kehidupan anak yang banyak menghadapkan dengan pengalaman langsung. Lingkungan kehidupan anak dalam kelompok, banyak memberikan pengalaman bagaimana cara melakukan sesuatu yang terdiri dari serangkaian tingkah laku.
Dengan demikian penggunaan metode proyek yang didasarkan pada gagasan John Dewey tentang “learning by doing” sangat mungkin diterapkan, karena metode proyek merupakan salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan menghadapkan anak dengan persoalan sehari-hari untuk dipecahkan secara kelompok.[20]
Dalam pelaksanaanya, metode proyek memposisikan guru sebagai fasilitator yang harus menyediakan alat dan bahan untuk melaksanakan “proyek” yang berorientasi pada kebutuhan dan minat anak dan menantang anak untuk mencurahkan segala kemampuan, ketrampilan serta kreativitasnya. Selain itu guru harus menciptakan situasi yang mengandung makna penting untuk mengembangkan potensi anak, perluasan minat serta pengembangan kreativitas dan tanggung jawab, baik secara perseorangan maupun kelompok.
Situasi yang menyenangkan juga harus diusahakan oleh guru agar tiap anak dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi bagianya akan menanggapi secara positif. Perasaan yang menyenangkan dalam menyikapi suatu kegiatan akan melahirkan kinerja yang tinggi, dan begitu sebaliknya.[21]
- Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran pada hakekatnya adalah interaksi guru dengan murid dalam rangka menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.[22] Dengan demikian belajar mengajar harus bernilai normatif, yaitu mengandung sejumlah nilai yang mampu mengubah tingkah laku, sikap dan perbuatan anak didik menjadi lebih baik, dewasa, dan bersusila. Proses interaksi edukatif melibatkan komunikasi aktif dua arah antara guru dan anak didik, aktif dalam arti sikap, mental, dan perbuatan. Dalam sistem pengajaran dengan pendekatan ketrampilan proses, anak didik dituntut lebih aktif daripada guru. Guru hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator.[23]
Dalam menyusun program pengajaran guru dapat mengacu pada pendapat beberapa pakar pendidikan, diantaranya:
a. Skinner
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responya menjadi lebih baik. Sebaliknya, apabila ia tidak belajar maka responya akan menurun. Dalam menerapkan teori skinner, guru perlu memperhatikan dua hal penting, yaitu pemilihan stimulus yang diskriminatif, dan penggunaan penguatan. Dengan demikian diperlukan pemilihan respon pada ranah kognitif atau afektif. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan adalah:
1). Mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan prilaku positif dan prilaku negatif siswa yang kemudian memperkuat prilaku positif dan mengeliminir prilaku negatif.
2). Membuat daftar penguat positif. Guru mencari prilaku yang lebih disukai siswa, prilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat dijadikan penguat.
3). Memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatanya.
4). Membuat program pembelajaran. Berisi urutan prilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari prilaku, dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat prilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan menjadi catatan penting bagi modifikasi prilaku selanjutnya.[24]
b. Gagne
Gagne mengungkapkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang komplek dan menghasilkan kapabilitas. Kompleksitas tersebut digambarkan bahwa belajar merupakan interaksi antara keadaaan internal dan proses kognitif siswa dengan stimulus dari lingkungan, proses kognitif memunculkan suatu hasil belajar yang terdiri dari:
1). Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan.
2). Ketrampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Ketrampilan ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, serta prinsip.
3). Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, yaitu kemampuan penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4). Ketrampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5). Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut.
Berkaitan dengan pembelajaran, maka guru dapat menyusun acara pembelajaran sebagai berikut:
a) Persiapan untuk belajar
(1) Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus.
(2) Memberitahu siswa tentang tujuan belajar
(3) Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya.
b) Pemerolehan dan unjuk perbuatan
(1) Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya.
(2) Memberikan bimbingan belajar
(3) Memunculkan perbuatan siswa
(4) Memberikan balikan informatif
c) Retrival dan alih belajar
(1) Menilai perbuatan siswa
(2) Meningkatkan retensi dan alih belajar[25]
c. Rogers
Dalam pembelajaran Rogers mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan guru, yaitu:
1). Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
2). Guru dan siswa membuat kontrak belajar.
3). Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (discovery learning).
4). Guru menggunakan metode simulasi.
5). Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelaompok lain.
6). Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
7). Guru menggunakan pengajaran berprogram sebagai upaya menumbuhkan kreativitas siswa.[26]
Uraian teori belajar menurut beberap tokoh diatas mensyaratkan adanya proses pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan komunikasi efektif. Lebih lanjut Jerome S. Bruner memunculkan tahapan dalam proses pembelajaran yang berorientasi pada perubahan, yaitu:
a Tahap Informasi
Siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara informasi yang diperoleh, ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.
b Tahap Transformasi
Informasi yang telah diperoleh harus dianalisis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Peran guru dalam tahapan ini sangat diharapakan untuk memilih strategi kognitif yang tepat sehingga tranformasi materi pelajaran sesuai tujuan pembelajaran.
c Tahap Evaluasi
Menilai sejauhmana pengetahuan yang diperoleh siswa dapat dimanfaatkan untuk memahami dan merespon terhadap gejala-gejala lingkungan yang sedang dihadapi.[27]
Tahapan proses pembelajaran harus disesuaikan dengan hasil yang diharapkan, motivasi belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri.
Dalam proses pembelajaran motivasi mempunyai peranan penting, karena merupakan tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Dengan demikian motivasi dapat menjadi tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, guru diharapkan mampu mengkondisikan kegiatan intelektual dan estetik agar siswa tertarik dalam proses pembelajaran. Sebagai alat, motivasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa dalam bidang pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan.[28]
Sebagai upaya menumbuhkan motivasi belajar siswa dibutuhkan proses pembelajaran yang tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Ukuran kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses apabila seluruh atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, antara lain menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, terjadinya perubahan tingkah laku positif dalam diri anak didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%).[29]
- Materi/bahan pembelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam interaksi edukatif, karenanya guru harus mempersiapkan dan menguasai bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran menyangkut mata pelajaran yang diampu guru sesuai kompetensinya. Sedangkan bahan pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.[30]
Bahan belajar dapat berupa benda dan isi pendidikan, diantaranya berkaitan dengan pengetahuan, prilaku, nilai, sikap, dan metode pemerolehan. Guru berperan selektif dalam memilih bahan pelajaran dengan mempertimbangkan faktor berikut:
a Bahan belajar harus sesuai dengan sasaran belajar. Jika tidak sesuai, maka perlu bahan pengganti yang sederajat dengan program.
b Tingkat kesukaran bahan belajar, jika bahan belajar tergolong sukar maka guru perlu “membuat mudah”.
c Bahan belajar harus sesuai dengan strategi belajar mengajar. Guru harus menyesuaikan strategi belajar mengajar dengan bahan belajar.
d Evaluasi hasil belajar harus sesuai dengan bahan belajar. Kemampuan pada ranah kognitif, afektif, psikomotorik harus terkandung dalam bahan belajar.[31]
Ketika kita menengok pada pendidikan di Taman Kanak-kanak, program kegiatan belajarnya merupakan kesatuan program kegiatan yang utuh, yaitu berisi bahan-bahan pembelajaran yang disusun menurut pendekatan tematik. Pendekatan tematik diartikan sebagai organisasi dari kurikulum dan pengalaman belajar melalui pemilihan topik. Dengan demikian bahan tersebut merupakan tema-tema yang dikembangkan lebih lanjut oleh guru menjadi program kegiatan pembelajaran yang operasional.[32] Prinsip diatas menjadi dasar untuk mengembangkan kurikulum yang terintegrasi, sebagai gambarannya adalah ketika anak belajar diluar ruangan, mereka akan belajar segalanya.[33]
Menurut Katz dan Chard seperti yang dikutip Soemiarti Patmonodewo dalam bukunya Pendidikan Anak Prasekolah, guru harus mempertimbangkan beberapa kriteria dalam memilih tema pembelajaran yaitu:
a Keterkaitan tema yang dipelajari anak dengan kehidupanya, dengan kata lain apa yang akan dipelajari anak harus mempunyai arti.
b Guru harus mengkaitkan tema dengan kemungkinan bagi anak untuk sekaligus dapat belajar membaca, menulis dan berhitung yang benar-benar mempunyai arti bagi anak.
c Adanya buku-buku dan informasi lain yang dapat mendukung dalam pemilihan tema.
d Minat guru. Dengan keberadaan minat maka guru menginginkan untuk memberikan bimbingan kepada anak.
e Tema dipilih berdasarkan kurun waktu tertentu, mungkin musim-musim yang biasanya terjadi dalam satu tahun.[34]
- Sarana/media Pembelajaran
Media merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengajaran, karena membantu guru dalam menyampaikan materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi proses serta mutu hasil pendidikan.[35] Media dan sumber belajar dapat ditemukan dengan mudah dalam sawah percobaan, kebun bibit, kebun binatang, tempat wisata, museum, perpustakaan umum, surat kabar, majalah, radio, sanggar seni, sanggar olah raga, dan televisi. Disamping itu buku pelajaran, buku bacaan, dan laboratorium sekolah juga tersedia semakin baik. Guru dapat memanfaatkan media dan sumber belajar dengan mempertimbangkan efektifitasnya sebagai berikut:
a Sejauhmana media dan sumber belajar bermanfaat dalam mencapai sasaran belajar.
b Sejauhmana manfaat isi pengetahuan yang terdapat dalam surat kabar, majalah, radio, televisi, museum dan kantor-kantor untuk pokok bahasan tertentu.
c Apakah isi pengetahuan di kebun bibit, kebun binatang, perpustakaan umum bermanfaat bagi pokok bahasan tertentu. Jika ya, maka guru harus memanfaatkan dan membuat program karya wisata.[36]
Penggunaan media/sarana pembelajaran bagi anak prasekolah harus dipersiapkan guru sedemikian rupa, karena menyangkut kebutuhan ruang bagi masing-masing anak baik di dalam maupun diluar ruang belajar.[37] Disisi lain terdapat klasifikasi tentang penyiapan peralatan untuk anak usia awal menurut area perkembanganya, yaitu:
a Perkembangan fisik, perlengkapan penunjangnya adalah alat panjatan, mainan beroda, balok-balok, ban, bola, sepatu tali, mute untuk dironce, kartu dengan pola, papan keseimbangan, tangga, gunting, alat perkayuan, alat-alat untuk main pasir, serta alat lain yang memungkinkan anak mengembangkan koordinasi otot besar dan halus.
b Perkembangan sosial, memerlukan alat yang berhubungan dengan kantor pos, alat yang biasa dijual di toko kelontong, alat rumah tangga, dan alat lain yang mendorong anak untuk bermain atau bekerja sama.
c Perkembangan intelektual, memerlukan alat berupa: binatang, tanaman, alat untuk dimanipulasi, pasir, air, kayu balok, papan titian, gelas, ukuran, alat mainan yang berpasangan, buku, daun, bunga, puzzle, dan sebagainya.
d Perkembangan kreativitas, memerlukan berbagai alat gambar/lukis, berbagai macam ukuran, bentuk dan kualitas kertas, pensil berwarna, lilin, biji-bijian, gunting, krayon, sedotan dan seterusnya.
e Perkembangan bahasa, membutuhkan buku, tape, kartu yang dapat mengembangkan bahasa, cerita, bermain jari-jemari, boneka, wayang, buku buatan anak sendiri, baju, kunjungan luar, situasi sosial, bermain pura-puta, kesempatan untuk bertemu dengan orang lain.
f Perkembangan emosi, memerlukan alat yang dapat membuat anak berhasil melakukan, manantang tetapi tidak membuat frustasi, mainan yang membuat anak mampu.[38]
- Sistem evaluasi pembelajaran
Sebagai upaya menyediakan informasi tentang baik buruknya proses dan hasil kegiatan pembelajaran dibutuhkan penyelenggaraan evaluasi. Dalam hal ini evaluasi mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada informasi tentang sejauhmana perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan, sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran yang optimal.[39]
Penilaian terhadap proses belajar mengajar bertujuan untuk mengambil keputusan tentang hasil belajar, memahami anak didik, memperbaiki dan mengembangkan program pengajaran.[40] Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui penguasaan anak didik terhadap bahan-bahan pelajaran dan efektifitas kegiatan pengajaran.
Langkah yang ditempuh dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar diantaranya:
a Penilaian kelas, yaitu penilaian yang dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir
b Tes kemampuan dasar, yaitu untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran.
c Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, dilakukan setiap akhir semester dan tahun pelajaran guna mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didika dalam satuan waktu tertentu.
d Benchmarking, merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang sudah berjalan, proses, dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan. Indikasi keunggulan didasarkan pada tingkat sekolah, daerah, atau nasional.
e Penilaian program, penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaian dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dan kemajuan jaman.[41]
Sistem evaluasi yang dikembangkan dalam pendidikan anak prasekolah mengacu pada penilaian perkembangan sosial, emosional, fisik, maupun perkembangan intelektualnya. Beberapa jenis penilaian hasil belajar anak prasekolah antara lain:
a Pengamatan (observasi)
Adalah suatu cara untuk mendapatkan keterangan mengenai reaksi anak, tingkah lakunya, dan ucapanya dengan melihat, mendengar dan mencatat dengan cermat.
b Tes yang distandarisasi
Adalah sekumpulan butir tertentu yang secara teliti dikembangkan untuk mengukur prestasi seseorang dalam bidang tertentu. Pada anak prasekolah biasanya tes ini digunakan untuk menilai kesiapan menyelesaikan tugas yang bersifat formal dan berkaitan dengan ketrampilan yang diperlukan di sekolah.
c Tes informal
Adalah menampilkan penguasaan anak tentang apa yang telah diajarkan guru pada masing-masing kelas, dan hasil ini dapat digunakan untuk memperbaiki program atau kegiatan pembelajaran dalam kelas tersebut.
d Inventori sikap dan minat
Yaitu penilaian untuk mengetahui informasi tentang bagaimana anak menghayati berbagai keinginan dan minat dengan memberikan pertanyaan langsung kepada anak, pertanyaan biasanya bersifat terbuka.
e Penilaian diri
Adalah untuk memperoleh keterangan tentang ketrampilan anak. Dalam hal ini digunakan checklist yang merekam tingkah laku anak dalam situasi bermain, ketrampilan fisik sehingga pada akhir tahun ajaran di TK sudah mampu mengumpulkan hasil karyanya di dalam satu buku selama satu tahun.
f Penilaian portofolio
Penilaian ini didasarkan pada hasil berbagai pekerjaan anak, catatan guru, dan evaluasi diri yang dilakukan anak. Guru mengumpulkan hasil kerja anak dalam beberapa tahun. Biasanya beberapa hasil karya anak (gambar, tugas melipat, menggunting) disimpan guru dan kemudian akan dikirimkan kepada orang tua.[42]
2. PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK
Dari segi bahasa kreativitas anak atau dalam bahasa Inggris “creativity” berarti kemampuan untuk mencipta, daya cipta.[43] Sedang menurut istilah kreativitas berarti kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni atau dalam permesinan atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode baru.[44]
Dengan demikian kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta produk baru, ciptaan itu tidak seluruhnya baru, mungkin saja kombinasinya, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya. Kreativitas mempunyai ciri-ciri non kecakapan seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman baru.[45] Berikut unsur-unsur dalam kreativitas:
a. Kemampuan berpikir mencipta.
Dalam pengembanganya kreativitas memerlukan pikiran yang berdaya, dalam arti menghindarkan diri dari jebakan keadaan, namun menjadi imajinatif dalam upaya menemukan sebuah jalan keluar atas sebuah permasalahan atau dalam upaya untuk memiliki rasa memiliki atas sebuah teka-teki.[46] Lebih lanjut Elliot memaparkan bahwa imajinasi dan kreativitas adalah sama, karenanya dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah masuk dalam imajinasi dalam upaya melihat kemungkinan-kemungkinan.[47]
Pikiran untuk mencipta merupakan esensi dari kreativitas, sebagaimana Gardner menyebut bahwa pikiran untuk mencipta adalah sebuah frase yang mengandung dinamisme dan cakupan yang jelas. Secara lebih gamblang, dijelaskan bahwa orang kreatif adalah:
1). Berfikir untuk diri mereka sendiri
2). Menghabiskan banyak waktu untuk mengintegrasikan pikiran mereka dengan apa yang ada diluar mereka.
3). Berupaya membuka pikiran mereka dan yang lain kepada hal baru.
4). Mengupayakan dengan senantiasa menuju (to-ing) dan mengarahkan (fro-ing) dari dalam diri mereka keluar.[48]
Kreativitas senantiasa membuka diri untuk berpikir integratif berdasar pengalaman sehingga merupakan kunci pencipta yang berhasil. Disamping itu motivasi intrinsik juga mempengaruhi pembentukan individu kreatif. Karena karakter individu kreatif adalah mempunyai keinginan untuk menghasilakan ide atau karya demi kepuasan diri dan tidak ada tekanan dari luar. Pengaruh motivasi intrinsik dalam pengembangan kreativitas berlangsung dalam kondisi-kondisi mental tertentu. Beberapa kondisi dalam diri untuk menjadi kreatif adalah:
1). Terbuka untuk pengalaman
2). Sebuah tempat evaluasi internal (dalam kaitanya dengan diri seseorang itu sendiri)
3). Sebuah kemampuan untuk bermain dengan elemen-elemen dan konsep-konsep (Kemampuan untuk bermain).[49]
b. Berpikir untuk pemecahan masalah
Sebagaimana diutarakan diatas bahwa kreativitas melibatkan imajinasi dalam berbagai situasi yang dialami, yaitu tidak puas dengan apa yang sudah ada, namun mengupayakan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin termasuk sesuatu belum kita ketahui. Sebagaimana dikemukakan Peneliti Amerika Csikszentmihalyi yang memandang kreativitas sebagai persoalan pemecahan masalah dan penemuan masalah.[50]
Dalam memperkenalkan proses pemecahan masalah pada anak kecil, kita harus menggunakan materi yang dekat dengan kehidupannya. Beberapa proses yang harus dikembangkan adalah:
1. Tahap orientasi, siswa diminta mendaftar proyek yang ingin dikerjakan secara kelompok atas masalah di dalam kelas yang mereka rasakan perlu dipecahkan. Guru dapat memilih satu topik atau masalah untuk dibahas bersama, bergantung pada situasi kelasnya.
2. Tahap persiapan, tahapan ini berkaitan dengan fakta yang telah diketahui dan informasi yang masih diperlukan. Hal tersebut penting untuk membahas bersama perbedaan antara fakta dan pendapat, fakta dan dugaan, fakta dan desas-desus, kemudian meminta siswa untuk melihat sub-masalah yang mereka ungkapkan dan menentukan mana yang fakta.
3. Tahap penggagasan, siswa diminta mengemukakan pertanyaan kreatif dari sub-masalah yang mereka temukan atau dari informasi faktual.
4. Tahap penilaian, siswa diminta memunculkan kriteria atas gagasan mereka. Ketika mengajukan setiap kriteria gunakan pernyataan “dampaknya terhadap”, hal ini membantu siswa memahami arti kriteria.
5. Tahap pelaksanaan, dalam melaksanakan gagasan terbaik siswa perlu merancang rencana tindakan, yaitu menentukan apa yang harus pertama dilakukan, bagaimana membagi tanggung jawab, dan memberikan pengalaman yang bermakna bagi mereka.[51]
c. Model pembelajaran kreatif
Dalam pengembangan kurikuilum, model-model dapat digunakan untuk menentukan materi (konten) pembelajaran dan metode-metode dalam pencapaian materi tersebut, dalam arti bahwa model memberikan kerangka untuk menentukan pilihan. Dengan menguasai berbagai model bermanfaat dalam situasi pembejaran tertentu.
Talents dan taylor mengemukakan bahwa tidak hanya bakat akademis yang perlu dipupuk dan dihargai dalam sekolah, dalam modelnya dapat dibedakan enam talenta yang dapat dikembangkan di sekolah. Seperti yang tertuang dalam curriculum guide, program disusun untuk mengajar konten akademik, kreativitas, ketrampilan merencanakan, komunikasi, prediksi, dan pengambilan keputusan.
Kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusi-solusi baru atau gagasan-gagasan baru, yang menunjukkan kelancaran, kelenturan, dan orisionalitas dalam berpikir.
Merencanakan mencakup elaborasi yang mempertimbangkan rincian dalam melaksanakan sesuatu. Menyusun atau mengorganisasi bahan, waktu, dan tenaga.
Komunikasi meliputi kelancaran dengan kata, dalam ekspresi (ungkapan) dan dalam asosiasi.
Prediksi membutuhkan antisipasi konseptual, kesadaran sosial, dan menganalisis kriteria yang berhubungan.
Pengambilan keputusan meliputi evaluasi eksperimental, evaluasi logis, dan pertimbangan.[52]
Sehubungan pengembangan kreativitas anak, perlu meninjau empat aspek dari kreativitas, diantaranya:
a. Penyediaan ruang untuk mencipta
Pengembangan kreativitas memerlukan komitmen atas ruang baik secara fisik maupun konsep. Tampilan ruang kelas, materi dari tiap aktivitas serta lingkungan pembelajaran. Dalam ruang kelas tersedia media pembelajaran yang mendukung anak berpikir secara independen disetiap wilayah kurikulum, yaitu dengan kemudahan mengakses materi-meteri, buku, komputer, atlas, permainan (games), materi-materi konstruksi (bentuk), teka-teki, materi-materi kerajianan dan seterusnya. Anak mampu bekerja sama dengan orang lain, baik secara berpasangan maupun kelompok.
Secara konseptual ruang kelas dikondisikan dengan prinsip memperbolehkan adanya kesalahan-kesalahan dan menganjurkan eksperimen, bersifat terbuka dan berani mengambil resiko.[53]
b. Pemahaman pribadi
Kreativitas merupakan ekspresi dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari ungkapan pribadi yang unik diharapkan muncul ide-ide baru dan produk-produk inovatif. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat menghargai keunikan pribadi dan bakat masing-masing anak didiknya.[54]
c. Kondisi lingkungan sekolah
Lingkungan yang paling berpengaruh dalam membentuk kreativitas anak adalah sekolah, karena didalamnya terjadi proses interaksi edukatif yang mengharuskan siswa mengikuti sistem aturan yang ada. Sekolah yang baik akan mengedepankan kenyamanan belajar bagi siswanya.
Disamping itu guru memberi dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tetapi juga pada sikap terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Dalam upaya memunculkan, merangsang, dan memupuk pertumbuhan kreativitas guru harus menata sikap dan falsafah mengajarnya.
1). Sikap Guru
Upaya guru dalam mengembangka kreativitas siswa adalah dengan mendorong motivasi intrinsik. Semua anak harus belajar bidang ketrampilan di sekolah, dan banyak anak memperoleh ketrampilan kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif. Motivasi intrinsik akan tumbuh, jika guru memungkinkan anak untuk diberi otonomi sampai batas tertentu di kelas.[55]
Dalam hal ini guru harus mengkondisikan ruang pembelajaran yang nyaman, ukuranya adalah siswa merasa tidak tertekan atau tegang sehingga motivasi internal tumbuh, ketegangan kurang, dan belajar konseptual lebih baik. Pendekatan yang dipilih adalah tidak diawasi tapi diarahkan (non-controlling but directed), sehingga anak melihat dirinya sebagai lebih kompeten di sekolah dan mempunyai rasa harga diri yang lebih tinggi dari pada anak-anak yang melihat lingkungan kelas mereka sebagai mengawasi. Penekananya lebih pada belajar bukan pada penilaian, dengan sikap ini guru betul-betul dapat menjadi kolaborator dalam belajar.[56]
2). Falsafah mengajar
Falsafah mengajar yang mendorong kreativitas anak secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
a). Belajar adalah sangat penting dan sangat menyenangkan
b). Anak patut dihargai dan disayangi sebagai pribadi yang unik
c). Anak hendaknya menjadi pelajar yang aktif. Mereka perlu didorong untuk membawa pengalaman, gagasan, minat, dan bahan mereka di dalam kelas. Siswa diberi kesempatan untuk membicarakan bersama dengan guru mengenai tujuan bekerja/belajar setiap hari, dan perlu diberi otonomi dalam menentukan bagaimana mencapainya.
d). Anak perlu merasa nyaman dan dirangsang di dalam kelas sehingga tidak ada tekanan atau ketegangan.
e). Anak harus mempunyai rasa memiliki dan kebanggaan di dalam kelas. Mereka perlu dilibatkan dalam merancang kegiatan belajar dan boleh membawa bahan-bahan dari rumah.
f). Guru merupakan nara sumber, bukan polisi atau dewa. Anak harus menghormati guru, tetapi merasa aman dan nyaman dengan guru.
g). Guru memang kompeten, tetapi tidak perlu sempurna.
h). Anak perlu merasa bebas untuk mendiskusikan masalah secara terbuka, baik dengan guru maupun dengan teman sebaya. Ruang kelas adalah milik mereka juga dan mereka berbagi tangung jawab dalam mengaturnya.
i). Kerja sama selalu lebih daripada kompetisi.
j). Pengalaman belajar hendaknya dekat dengan pengalaman dari dunia nyata.[57]
d. Kondisi lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan utama dalam pendidikan anak, sangat terlihat ketika bahasa ibu mempunyai pengaruh kuat dalam diri anak. Begitu juga dalam hal kreativitas, anak memiliki kecenderungan meniru apa yang sering dia lihat dalam keseharian. Seperti yang dikutip Utami Munandar dari konsep Amabile bahwa sikap yang harus dibangun orang tua dalam mendorong kreativitas anak, diantaranya:
1. Kebebasan, yaitu tidak otoriter, tidak selalu mau mengawasi anak, dan tidak terlalu membatasi kegiatan anak.
2. Respek, orang tua menghormati anak sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka, dan menghargai keunikan anak. Sehingga secara alamiah anak mampu mengembangkan kepercayaan diri untuk berani melakukan sesuatu yang orisinal.
3. Kedekatan emosional yang sedang, anak perlu merasa bahwa ia disayang, tetapi tidak menjadi terlalu tergantung pada orang tua. Karena pada dasarnya memberi kebebasan anak untuk tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan pendapat atau minat dapat mendorong munculnya kreativitas.
4. Prestasi bukan angka, menghargai prestasi anak dalam arti mendorong anak anak untuk berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya-karya yang baik. Sedangkan orang tua tidak terlalu menekankan untuk mencapai angka atau nilai/peringkat tinggi. Dalam hal ini imajinasi dan kejujuran lebih ditekankan daripada mencapai angka tertinggi.
5. Orang tua aktif dan mandiri, orang tua merasa aman dan yakin tentang diri sendiri, tidak memperdulikan status sosial, dan tidak terlalu terpengaruh oleh tuntutan sosial. Mereka juga amat kompeten dan mempunyai banyak minat, baik di dalam maupun di luar rumah. Peran orang tua disini sebagai model utama bagi anak.
6. Menghargai kreativitas, orang mendorong anak melakukan hal-hal kretaif.[58]
Kaitannya dengan pengajaran Agama Islam pada anak, pemberian teladan yang baik memang diperlukan. Anak akan berusaha meniru orang tua dalam hal kecil maupun besar, dan mengambil jalan hidupnya mengikuti prilaku, kebiasaan serta sifat orang yang disukainya.[59] Peran orang tua dalam pendidikan anak sangat dominan, sesuai Hadits Nabi Muhammad SAW :
Sebagai ilustrasi terdekat adalah ayah mengajak anak laki-lakinya pergi ke masjid untuk menjalankan sholat jum’at. Dengan ajakan tersebut paling tidak anak dikenalkan dari dekat tentang rumah suci serta kegiatan yang dilakukan orang didalamnya, biasanya si anak terheran-heran, penuh tanda tanya dalam hati, misalnya tentang bangunan masjid, suara adzan yang menggema, orang-orang yang hilir-mudik mengambil air wudlu, mihrabnya yang anggun di sebelah pengimaman, dan banyak lagi pemendangan menarik yang mengusik akal-budinya.
Memang belum banyak yang dapat diharapkan dari anak pada usia dini, minimal ada upaya pengenalan dan pembiasaan serta pemberian teladan agar anak menjadi terbiasa dan akhirnya mencintai masjid beserta amaliah keagamaannya.[60]
[1] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, Hlm. 83
[2] Ibid., Hlm. 84
[3] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hlm. 13-14
[4] Ibid., Hlm. 18
[5] Ibid., Hlm. 132
[6] Syaiful Bahari Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 185
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 885
[8] Ngalim Purwanto, Op. Cit., Hlm. 84
[9] John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan dan Pengalaman, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 19
[10] Ibid., Hlm. 133-134
[11] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 186
[12] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 73-74
[13] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 46
[14] Syaiful Bahari Djamarah, Op. Cit., Hlm. 186-187
[15] John Dewey, Op. Cit., Hlm. 9
[16] Ibid., Hlm. 11
[17] Ibid., Hlm. 15
[18] Muis Sad Iman, Op. Cit., Hlm. 69
[19] John Dewey, Op. Cit., Hlm. 24
[20] Moeslichatoen R, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 137
[21] Ibid., Hlm. 138-139
[22] Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hlm. 36
[23] Syaiful Bahri Djamarah, Op Cit., Hlm. 12
[24] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 9-10
[25] Ibid., Hlm. 11-12
[26] Ibid., Hlm. 17
[27] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, Hlm. 9-10
[28] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 43
[29] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hlm. 101-102
[30] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 17-18
[31] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 34
[32] Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 68
[33] Ibid., Hlm. 71
[34] Ibid., Hlm. 71
[35] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002, Hlm. 65
[36] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 36
[37] Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm. 154
[38] Ibid., Hlm. 156-157
[39] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 190
[40] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 209
[41] E. Mulyasa, Op. Cit., Hlm. 103-105
[42] Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm. 139-146
[43] Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., Hlm. 427.
[44] C.P. Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, Hlm. 117.
[45] Conny Setiawan dkk., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Gramedia, Jakarta, 1984, Hlm. 7
[46] Anna Craft, Creativity Across the Primary Curriculum, Alih Bahasa M. Chairul Annam, Membangun Kreativitas Anak, Inisiasi Press, Depok, 2000, Hlm. 2
[47] Ibid., Hlm. 11
[48] Ibid., Hlm. 19
[49] Ibid., Hlm. 21
[50] Ibid., Hlm. 53
[51] Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 212-213
[52] Ibid., Hlm. 168
[53] Anna Craft, Membangun Kreativitas Anak, terj. Syafinuddin Al-Madari dan M. Chairul Annam, Inisiasi Press, Depok, 2000, Hlm. 193
[54] Utami Munandar, Op. Cit., Hlm. 45
[55] Ibid., Hlm. 110
[56] Ibid., Hlm. 111
[58] Utami Munandar, Op. Cit., Hlm. 92-93
[59] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Terj. Arum Titisari, A.H. Ba’adillah Press, Jakarta, 2002, Hlm. 92-93
[60] Imam Bawani, Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam, Bina Ilmu, surabaya, 1990, Hlm. 107
tulisan yg sangat smart
BalasHapus