Rabu, 09 Maret 2011

Menilik Pembaharuan Pesantren

Tidak dapat dipungkiri kalau penghujung tahun ajaran merupakan saat-saat yang paling melelahkan bagi orangtua yang anaknya berada di tingkat akhir. Selain mereka khawatir anak mereka tidak lulus ujian, mereka juga dituntut untuk mempunyai kesiapan finansial untuk menjamin kelangsungan belajar anak mereka. Orangtua juga dipusingkan dalam memilih sekolah lanjutan terbaik untuk anak tercinta mereka.
Tidak mudah memang memilih sekolah yang terbaik untuk anak-anak kita. Banyak hal yang biasanya dijadikan pertimbangan, diataranya adalah pertimbangan kualitas pendidikan sekolah. Sekolah –sekolah yang ada sekarang relatif mempunyai pola pendidikan yang hampir sama. Kalaupun ada yang istimewa, biasanya disertai dengan biaya pendidikan yang “istimewa” pula. Pada situasi sepereti ini nampaknya pesantren sabagai salah satu lembaga pendidikan perlu diapresiasi. Selain karena pesantren merupakan institusi pendidikan yang bersifat asli (indigenous) Indonesia yang punya kerekaitan sejarah dengan perjuangan bangsa, pesantren pun relatif bisa bertahan hidup di tengan gempuran dan gerusan modernitas.
Secara ontologis, ada beberapa analisa historis tentang asal mula munculnya pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren merupakan wujud dari sistem pendidikan Hindu-Budha yang diadopsi oleh para penyebar agama Islam di Indonesia khususnya Wali Sanga dengan mengganti materi ajar yang disampaikan. Dengan kata lain pesantren adalah sistem pendidikan Hindu-Budha yang telah “terislamkan”. Kedua, pesantren merupakan kelanjutan dari sistem gilda para pengamal tasawuf di Indonesia dan Timur Tengah pada masa lalu (Nurcholish Madjid, 1993).
Terlepas dari persoalan analisis sejarah di atas, faktanya pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan dan keagamaan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dialaminya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyuimbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi bangsa ini.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, berbangga hati dan puas dengan sekedar mampu bertahan tanpa menghasilkan sesuatu yang baru khususnya untuk peningkatan kualitas pendidikan bukan pilihan yang cerdas. Sebaliknya pesantren dituntut menjawab tantangan modernitas dengan memasuki ruang kontestasi dengan instiusi pendidikan lainya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel internasional, menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang ketat itu memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikan agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi agar tetap mampu meningkatkan kualitas pendidikannya.
Persoalan di atas rupanya sudah dibaca oleh banyak pesantren yang secara progresif banyak melakukan pembaharuan dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum. Dulu, pesantren hanya berkutat pada pengajaran yang melulu bermuatan al-Quran dan Hadits serta kitab-kitab klasiknya dengan metode pengajaran kalsikal yang berjalan searah dan monolog. Kalaupun ada ilmu-ilmu ‘aqliyah yang dimasukkan ke dalam kurikulum, hal itu terkesan dilakukan dengan setengah hati. Ilmu-ilmu tersebut dihadirkan sekedar sebagai pelengkap yang seakan-akan tidak memilki signifikansi dalam pencapaian tujuan pendidikan yang substansial. Lebih jauh lagi, ilmu-ilmu yang dianggap sekular itu tidak diletakkan di dalam kerangka nilai-nilai keislaman.
Sekarang, kondisi seperti tersebut di atas sudah mulai berubah. Berbagai disiplin ilmu dengan menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern sudah merupakan hal yang asing di dunia pesantren. Semua itu dijalankan bukan karena sekedar latah yang bersifat formalistik, tapi benar-benar berangkat dari tradisi pesantren, yang pada prinsipnya merupakan ajaran dan nilai Islam otentik. Selain kurikulum ada banyak aspek yang disentuh oleh pembaharuan. Sarana prasarana, guru, manajemen (pengelolaan) pesantren, dan sebagainya.
Tapi, keberhasilan pesantren berdialog dengan modernitas, sebaiknya tidak lantas membuat pesantren kehilangan kesaktiannya dalam menunaikan tugas moralnya. Sebab sebagai sumber nilai, agama yang ditekuni oleh pesantren terutama berfungsi dalam pengembangan moral.
Dengan demikian, pesantren yang ideal adalah pesantren yang mampu berdialog dengan modernitas, tanpa mengelimniasi tugas utamannya sebagai pengemban amanat moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar